Belum tentu shalatmu, puasamu, hajimu, yang akan membuatmu masuk surga.
Bisa jadi dengan ngladeni wong cilik yang akan mengantarmu ke surga.”
:: Allah yarham K.H. Abdullah Abbas ::
Di depan pintu surga terjadi keributan antara Malaikat Ridwan, Haji Barno, Kang Bejo, Kang Slamet, dan Lek Ontong.
“Pokoknya,
saya harus masuk surga Kat, Malaikat,” gertak Haji Barno. “Bukankah
kamu tadi melihat dengan gamblang, antara amal ibadahku dan amal burukku
lebih banyak amal baikku.”
“Benar. Ini tadi saya mau bukakan pintu untuk sampean. Lha dumadakan kok
tiga orang ini teriak-teriak. Dan Gusti Allah memerintahkan menunda
terbukanya pintu surga dan mendengarkan maksud dari orang-orang ini.”
Malaikat Ridwan memberi penjelasan.
“Pokoknya saya harus masuk surga. Bukakan pintunya sekarang!” geram Haji Barno.
“Lho,
yang berhak memerintah saya hanya Allah. Bukan kamu, Haji Barno!”
Malaikat ganti menggertak. “Ada apa kalian menghalangi Haji Barno masuk
surga?”
“Begini Tuan Malaikat yang terhormat. Saya hendak mohon keadilan, selama di dunia saya tidak bisa memohon keadilan karena saya wong cilik, orang
kecil yang tidak berdaya di hadapan orang kaya, apalagi kaya plus
berpangkat. Waaaah, bisa-bisa saya ke alam kubur lebih cepat, keluarga
saya kehidupannya bisa carut-marut. Haji Barno ini memang taat shalat,
haji berkali-kali, dan tak pernah telat zakat. Tapi mulutnya itu juga
rajin maksiat, coba dicek ulang. Bagaimana dia memperlakukan orang-orang
kecil macam saya dan teman-teman ini. Fitnah demi fitnah keji menyebar
dari mulutnya. Setiap memberi sesuatu, lain waktu dia akan ngundat-undat.”
“Sebentar, ngundat-undat itu bahasa Indonesianya apa?” tanya Malaikat Ridwan.
“Waduh, apa ya?” Tanya Kang Bejo kepada Kang Slamet.
“Gini
Tuan Malaikat,” Kang Bejo mencoba memberikan penjelasan, “contohnya
gini, suatu ketika sampean dikasih hadiah sama Malaikat Isrofil, tapi di
lain waktu Malaikat Isrofil mengatakan di hadapan malaikat lain, ‘Si
Ridwan itu lho, jadi malaikat kok bisanya cuma minta’ padahal sampean
ada di situ, atau kalimat serupa yang lebih menyakitkan dan merendahkan
kemalaikatan sampean. Bukankah itu full menyakitkan dalam hati? Sakitnya itu di sini (tunjuk dada), Tuan Malaikat.”
“Oh. Ya, meskipun kurang paham, saya terima alasan kalian.
Lha apa Haji Barno ini tidak pernah minta maaf kepada kalian? Apalagi
kalian tinggal di Indonesia, di sana ada tradisi lebaran yang populer
dengan nama halalbihalal saat Idul Fitri, ajang untuk melebur dosa antar
sesama. Wong negerimu itu demikian istimewanya gitu lho!”
“Sebagai
orang kecil kami tahu diri, Tuan Malaikat. Beberapa kali Lebaran, kami
yang kecil ini mendatangi Haji Barno, yah meskipun yang salah bukan
kami. Tapi dalam tata krama dan etos budaya Indonesia, yang kecil
mendatangi yang besar untuk menghaturkan permohonan maaf. Tujuan kami
jelas, agar hubungan sesama manusia kami bisa sama-sama bersih. Seperti
bupati, gubernur, menteri, atau bahkan presiden yang selalu mengadakan open house setiap
tahun kepada rakyatnya, padahal bisa jadi mereka yang banyak berdosa
kepada rakyatnya dengan menyalahgunakan wewenang dan jabatannya….”
“Kang Bejo…, please deh
jangan sampai kepada pihak pemerintah segala. Apa kamu itu gak bisa
mikir. Kalau pejabat itu mendatangi rumah rakyatnya satu demi satu,
butuh waktu berapa bulan? Langsung fokus pada Haji Barno saja!” tegur
Lek Ontong.
“Baik.
Terima kasih atas koreksinya, Lek. Di saat Idul Fitri kami datangi dia
(nunjuk Haji Barno), eee…, setelah salaman, mulutnya itu kembali
mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan. Semisal, ‘Wes ndang jajane dibadog! Iki kesempatane wong kere-kere koyo dapuranmu kuwi iso mangan enak tur gratis.’ Sudah cepat dimakan snack-nya
itu! Ini kesempatan kalian untuk makan yang enak-enak dengan gratis.’
Siapa yang tidak sakit hati diperlakukan demikian, Tuan Malaikat? Nah
setelah berkali-kali lebaran mendapatkan perlakuan demikian, maka saya
sudah tidak sudi lagi untuk datang kepadanya,” Kata Kang Bejo
Kang Slamet menambahi, “Nah, sewaktu di dunia dulu saya mendengar tokoh agama yang
mengatakan, ‘Kalau hukum di dunia masih bisa dimanipulasi, bisa
dipermainkan, kejahatan dengan hukuman tidak sepadan. Mencuri ayam
seekor divonis lima tahun penjara, sedangkan korupsi divonis setahun
doang. Bahkan bisa bebas, bas, bas, bas tanpa syarat. Atau kalaupun
dihukum atawa dipenjara masih bisa pergi ke mana-mana. Contohnya kalau
di negara saya Gayus Tambunan itu, lhoo. Perlakuannya ketika dipenjara
pun berbeda. Kalau wong cilik, satu sel bisa untuk narapidana dua puluh
atau lima belasan. Tapi kalau untuk yang berduit dan berpangkat, ruang
tahanannya pun fasilitasnya lux. Ada tivinya, ada ruang karaoke, bahkan ada ruang khusus untuk hahaheho, alias ruang ngeseks dengan istri atawa dengan ehm selingkuhan. Di ahirat yang salah ya salah dan dihukum sesuai kesalahannya!’ begitu kata ustadz itu Tuan Malaikat”
“Sudah, sudah. Sekarang kita timbang ulang kebaikan lagi saja. Ini perintah Tuhan!”
Malaikat
Ridwan mengajak Haji Barno untuk hitung-hitungan amal ulang. Setelah
dihitung ulang, ibadah demi ibadah ritual Haji Barno habis diberikan
sebagai “bayar utang” atau ganti rugi kesakitan dan penderitaan hati
akibat caci, fitnah, maupun kekejian-kekejian lain selama di dunia.
Sampai akhirnya ibadah ritual Haji Barno habis terkuras, dan tinggal
tersisa keburukannya.
***
Ilustrasi di atas bisa menimpa siapa saja, tak harus orang kaya, bisa jadi yang miskin pun merugi akibat perbuatan sepele tapi ndadekne gawe itu.
Saya tidak asal membuat cerita tanpa lambaran yang bisa
dipertanggungjawabkan. Rasulullah Saw. sebagai penyampai risalah Allah
mengabarkan hal yang demikian kepada para sahabatnya. Dalam bahasa
Rasulullah Saw., orang-orang yang secara hitung-hitungan awal itu
menjadi akhir surga tapi pada akhirnya menjadi ahli neraka sebagai al muflis, orang
yang bangkrut. Bagaimana tidak bangkrut jika gunung kebaikan yang
dibawanya habis untuk menebus ketidakmampuannya menjaga anggota tubuh
secara kaffah.
Umat
Islam itu unik (saya tidak tahu umat agama lain bagaimana) demi meraih
surga ibadah yang berat-berat dilakukan, termasuk “konser” keagamaan.
Lihat saja pengajian demi pengajian bermunculan, minimal dalam satu
tahun ustadz dan kiai didatangkan untuk memberikan taushiyah, mulai
dari Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, Nuzulul Qur’an, Tahun Baru Hijriah,
bahkan masih ada haul, ada pula pengajian mingguan, belum lagi
acara-acara keagamaan di layar kaca setiap hari di bulan Ramadhan.
Namun, acara demi acara keagamaan itu seolah-olah menjadi seremonial
belaka, seperti konsernya Cita Ting Ting. Tak usah protes, saya juga
tahu kalau aslinya Cita Citata atawa Ayu Ting Ting bin Abdul Rojak J
Namun
ibadah yang terlihat sederhana tapi besar nilainya tak diindahkan.
Karena memang kalah populer dan terlihat sederhana. Semisal tersenyum
atau menunjukkan wajah keakraban kepada siap saja, menyantuni anak
yatim, dan membela orang tertindas, atau menjaga lisan agar tidak
terlibat dalam pemfitnahan dan pencacian kepada sesama saudara. Lihat
saja, di sekitar kita, betapa banyak orang yang enggan kerja bakti
membersihkan lingkungan, karena dianggap kurang islami dan lebih memilih
menghabiskan waktu dengan shalat dhuha, karena terlihat lebih islami. Seolah-olah lupa atau tidak tahu bahwa Al muta’addi afdholu min alqasiir, ibadah
yang memiliki efek kebaikan dan dirasakan langsung masyarakat itu lebih
utama daripada amal kebaikan yang manfaatnya untuk diri sendiri.
Ada
pula orang yang demikian terpacu untuk menjalankan shalat jamaah,
puasa, dan haji. Namun tidak membiasakan diri mendidik lisannya. Setelah
shalat, misalnya, ngrasani tetangga atau saudara
bahkan menyebarkan fitnah keji dan seterusnya. Bisa juga mencaci
orang-orang yang belum shalat. Seolah-olah dengan shalat yang dilakukan
itu surga sudah berada dalam genggamannya. Ia lupa bahwa output shalat
yang sejati adalah tanha ‘anil fahsa’, mencegah dari perbuatan maupun sikap keji, tercela, dan mungkar.
Betapa
banyak hikayat yang seharusnya menjadikan umat Islam bermuhasabah,
kemudian melakukan perbaikan diri dengan tidak menyepelekan
kebaikan-kebaikan kecil namun bisa berimbas besar di dunia maupun di
akhirat. Bukankah Tuhan tidak melihat besar dan kecilnya suatu amal,
tapi Dia melihat keikhlasannya. Bukankah lebih baik memberi seratus ribu
tapi uiiikhlas, daripada seribu tapi tak ikhlas! Tak usah didebat!
Ada
hikayat, semisal seorang pelacur, bahasa halusnya PSK, yang diampuni
dosanya ketika memberi minum kepada anjing yang kehausan. Ada pula
hikayat, seorang ahli ibadah yang masuk neraka karena menyiksa kucing
sepanjang malam. Bukankah ini hikayat yang inspiratif! Namun jangan
gagal paham setelah membaca tulisan ini. Bukan berarti saya menyuruh
kalian untuk mencari anjing kehausan kemudian memberinya minum, tanpa
melaksanakan shalat, terus lanjut maksiat.
Pelajaran
yang bisa diambil adalah :
Mengasihi hewan saja, Allah menilainya
dengan kebaikan yang layak masuk surga, apalagi jika mengasihi dan
merahmati sesama manusia. Tak harus muluk-muluk dalam merahmati,
semampunya saja. Mungkin sesuatu yang bagi kita kurang istimewa, namun
cukup istimewa orang lain. Sepiring nasi demikian bermanfaat dan
berharga bagi tetangga yang kelaparan. Coba sesekali hitung berapa kali
mereka mengucapkan “terima kasih”? Kau tahu alasannya? Yah. Karena
engkau telah menyandera hatinya dengan kebaikan yang tidak akan mereka
lupakan. Wong-wong cilik yang kau karibi dengan
kebaikan itu akan menjagamu di dunia dengan doa-doa tulusnya dan kelak
di akhirat akan menjadi tamengmu dari jilatan api neraka!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar