Kamis, 26 Mei 2016

CINTA BERSUJUD DI MIHRAB TAAT

Julaibib, begitu dia biasa dipanggil. Sebutan ini sendiri mungkin sudah menunjukkan ciri jasmani serta kedudukannya di antara manusia; kerdil dan rendahan.

Julaibib... Nama yang tak biasa dan tak lengkap, nama ini tentu bukan dia sendiri yang menghendaki. Tidak pula orangtuanya. Julaibib hadir ke dunia tanpa mengetahui siapa ayah dan yang mana bundanya. Demikian pula orang-orang, semua tak tahu atau tak mau tahu tentang nasab Julaibib. Tak dikenal pula termasuk suku apakah dia. Celakanya, bagi masyarakat Yatsrib, tak bernasab dan tak bersuku adalah cacat kemasyarakatan yang tak terampunkan.

Julaibib yang tersisih. tampilan jasmani dan kesehariannya juga menggenapkan sulitnya manusia berdekat-dekat dengannya. Wajahnya yang jelek terkesan sangar. Pendek. Bungkuk. Hitam. Fakir. Kainnya usang. pakaiannya lusuh kakinya pecah-pecah tak beralas. Tak ada rumah untuk berteduh. sembarangan berbantalkan tangan, Tidur berkasurkan pasir dan kerikil. Tak ada perabotan, minum hanya  dari kolam umum yang diciduk dengan tangkupan telapak. Abu Barzah, seorang pemimpin Bani Aslam, sampai-sampai berkata tentang Julaibib, ”Jangan pernah biarkan Julaibib masuk di antara kalian! Demi Allah jika dia berani begitu, aku akan melakukan hal yang mengerikan padanya!”

Demikianlah Julaibib.

Namun jika Allah berkehendak menurunkan rahmatNya, tak satu makhlukpun bisa menghalangi. Julaibib berbinar menerima hidayah, dan dia selalu berada di shaff terdepan dalam shalat maupun jihad. Meski hampir semua orang tetap memperlakukannya seolah dia tiada, tidak begitu dengan Sang Rasul, Sang rahmat bagi semesta alam. Julaibib yang tinggal di shuffah Masjid Nabawi, suatu hari ditegur oleh Sang Nabi, Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. ”Ya Julaibib”, begitu lembut beliau memanggil, ”Tidakkah engkau menikah?”

”Siapakah orangnya Ya Rasulallah”, kata Julaibib, ”Yang mau menikahkan putrinya dengan diriku ini?”

Julaibib menjawab dengan tetap tersenyum. Tak ada kesan menyesali diri atau menyalahkan takdir Allah pada kata-kata maupun air mukanya. Rasulullah juga tersenyum. Mungkin memang tak ada orangtua yang berkenan pada Julaibib. Tapi hari berikutnya, ketika bertemu dengan Julaibib, Rasulullah menanyakan hal yang sama. ”Wahai Julaibib, tidakkah engkau menikah?” Dan Julaibib menjawab dengan jawaban yang sama. Begitu, begitu, begitu. Tiga kali. Tiga hari berturut-turut.

Dan di hari ketiga itulah, Sang Nabi menggamit lengan Julaibib kemudian membawanya ke salah satu rumah seorang pemimpin Anshar. ”Aku ingin”, kata Rasulullah pada si empunya rumah, ”Menikahkan puteri kalian.”

”Betapa indahnya dan betapa berkahnya”, begitu si wali menjawab berseri-seri, mengira bahwa Sang Nabi lah calon menantunya. ”Ooh.. Ya Rasulallah, ini sungguh akan menjadi cahaya yang menyingkirkan temaram dari rumah kami.”

”Tetapi bukan untukku”, kata Rasulullah. ”Kupinang puteri kalian untuk Julaibib.”

”Julaibib?”,  nyaris terpekik ayah sang gadis.

”Ya. Untuk Julaibib.”

”Ya Rasulullah”, terdengar helaan nafas berat. ”Saya harus meminta pertimbangan isteri saya tentang hal ini.”

”Dengan Julaibib?”, isterinya berseru. ”Bagaimana bisa? Julaibib yang berwajah lecak, tak bernasab, tak berkabilah, tak berpangkat, dan tak berharta? Demi Allah tidak. Tidak akan pernah puteri kita menikah dengan Julaibib. Padahal kita telah menolak berbagai lamaran..”

Perdebatan itu tak berlangsung lama. Sang puteri dari balik tirai berkata anggun. ”Siapakah yang meminta?”

Sang ayah dan sang ibu menjelaskan.

”Apakah kalian hendak menolak permintaan Rasulullah? Demi Allah, kirim aku padanya. Dan demi Allah, karena Rasulullah lah yang meminta, maka tiada akan dia membawa kehancuran dan kerugian bagiku.” Sang gadis shalihah lalu membaca ayat ini;
Dan tidaklah patut bagi lelaki beriman dan perempuan beriman, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS Al Ahzab [33]: 36)
Dan Sang Nabi dengan tertunduk berdoa untuk sang gadis shalihah, ”Allahumma shubba ‘alaihima khairan shabban.. Wa la taj’al ‘aisyahuma kaddan kadda.. Ya Allah, limpahkanlah kebaikan atas mereka, dalam kelimpahan yang penuh berkah

Janganlah Kau jadikan hidupnya payah dan bermasalah..”

Doa yang indah.

Sungguh kita belajar dari Julaibib untuk tak merutuki diri, untuk tak menyalahkan takdir, untuk menggenapkan pasrah dan taat pada Allah dan RasulNya. Tak mudah menjadi orang seperti Julaibib. Hidup dalam pilihan-pilihan yang sangat terbatas. Kita juga belajar lebih banyak dari gadis yang dipilihkan Rasulullah untuk Julaibib. Belajar agar cinta kita berhenti di titik ketaatan. Meloncati rasa suka dan tak suka. Karena kita tahu, mentaati Allah dalam hal yang tak kita suka adalah peluang bagi gelimang pahala. Karena kita tahu, seringkali ketidaksukaan kita hanyalah terjemah kecil ketidaktahuan. Ia adalah bagian dari kebodohan kita.

Isteri Julaibib mensujudkan cintanya di mihrab taat. Ketika taat, dia tak merisaukan kemampuannya.
Memang pasti, ada batas-batas manusiawi yang terlalu tinggi untuk kita lampaui. Tapi jika kita telah taat kepada Allah, jangan khawatirkan itu lagi. Ia Maha Tahu batas-batas kemampuan diri kita. Ia takkan membebani kita melebihinya. Isteri Julaibib telah taat kepada Allah dan RasulNya. Allah Maha Tahu. Dan Rasulullah telah berdoa. Mari kita ngiangkan kembali doa itu di telinga. ”Ya Allah”, lirih Sang Nabi, ”Limpahkanlah kebaikan atas mereka, dalam kelimpahan yang penuh barakah. Janganlah Kau jadikan hidupnya payah dan bermasalah..”

Alangkah agungnya! Urusan kita sebagai hamba memang taat kepada Allah. Lain tidak! Jika kita bertaqwa padaNya, Allah akan bukakan jalan keluar dari masalah-masalah yang di luar kuasa kita. Urusan kita adalah taat kepada Allah. Lain tidak. Maka sang gadis menyanggupi pernikahan yang nyaris tak pernah diimpikan gadis manapun itu. Juga tak pernah terbayang dalam angannya. Karena ia taat pada Allah dan RasulNya.

Tetapi bagaimanapun ada keterbatasan daya dan upaya pada dirinya. Ada tekanan-tekanan yang terlalu berat bagi seorang wanita. Dan agungnya, meski ketika taat ia tak mempertimbangkan kemampuannya, ia yakin Allah akan bukakan jalan keluar jika ia menabrak dinding karang kesulitan. Ia taat. Ia bertindak tanpa gubris. Ia yakin bahwa pintu kebaikan akan selalu terbuka bagi sesiapa yang mentaatiNya.

Maka benarlah doa Sang Nabi. Maka Allah karuniakan jalan keluar yang indah bagi semuanya. Maka kebersamaan di dunia itu tak ditakdirkan terlalu lama. Meski di dunia sang isteri shalihah dan bertaqwa, tapi bidadari telah terlampau lama merindukannya. Julaibib lebih dihajatkan langit meski tercibir di bumi. Ia lebih pantas menghuni surga daripada dunia yang bersikap tak terlalu bersahabat kepadanya. Adapun isterinya, kata Anas ibn Malik, tak satupun wanita Madinah yang shadaqahnya melampaui dia, hingga kelak para lelaki utama meminangnya.

Saat Julaibib syahid, Sang Nabi begitu kehilangan. Tapi beliau akan mengajarkan sesuatu kepada para shahabatnya. Maka Sang Nabi bertanya di akhir pertempuran, “Apakah kalian kehilangan seseorang?”

“Tidak Ya Rasulallah!”, serempak sekali. Sepertinya Julaibib memang tak beda ada dan tiadanya di kalangan mereka.

“Apakah kalian kehilangan seseorang?”, beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya lagi. Kali ini wajahnya merah bersemu.

“Tidak Ya Rasullallah!” Kali ini sebagian menjawab dengan was-was dan tak seyakin tadi. Beberapa menengok ke kanan dan ke kiri.

Rasulullah menghela nafasnya. “Tetapi aku kehilangan Julaibib”, kata beliau.

Para shahabat tersadar.

“Carilah Julaibib!”

Maka ditemukanlah dia, Julaibib yang mulia. Terbunuh dengan luka-luka, semua dari arah muka. Di seputaran menjelempah tujuh jasad musuh yang telah dia bunuh.

Sang Rasul, dengan tangannya sendiri mengafani Sang Syahid. Beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam menshalatkannya secara pribadi. Ketika kuburnya digali, Rasulullah duduk dan memangku jasad Julaibib, mengalasinya dengan kedua lengan beliau yang mulia. Bahkan pula beliau ikut turun ke lahatnya untuk membaringkan Julaibib. Saat itulah, kalimat Sang Nabi untuk si mayyit akan membuat iri semua makhluq hingga hari berbangkit. “Ya Allah, dia adalah bagian dari diriku. Dan aku adalah bagian dari dirinya.”
Ya. Pada kalimat terakhir; tidakkah kita cemburu?...siapa yang tidak ingin jadi bagian dari Rasulullah
( Thia 26 mei 2016)


Rabu, 25 Mei 2016

PERTANYAAN ALAM KUBUR

 Beberapa waktu lalu, seorang santri menjadi viral di jejaring sosial karena menjawab secara keliru tiga nama menteri yang ditanyakan Presiden Jokowi saat Presiden berkunjung ke pesantren itu. Jawaban yang salah itu segera menimbulkan gelak tawa berkepanjangan karena nama-mana yang ia sebut adalah nama-nama besar: Ahok, Prabowo dan Megawati.

Belum lama ini saya mendatangi pengasuh pesantren itu, Gus Yusuf, di Tegalrejo Magelang dan meminta beliau adakah berkenan mempertemukan saya dengan santri tersebut. Namanya Fikri, asal Pekalongan. Saya bertanya kepadanya, bagaimana rasanya berdekatan dengan presiden dan menjawab pertanyaannya di depan khalayak. 
 ‘’Melayang-layang, ‘’ katanya. Saya tanyakan juga, arti namanya saat ia usai menyebut nama lengkapnya. ‘’Pikiran yang bersih,’’ jawabya. ‘’Pikiranmu bersih tapi jawabanmu salah,’’ canda saya. Dan ia tergelak ditingkah gelak hadirin.

Jika tak ada perubahan, adegan ini akan Anda saksikan sebagai acara televisi teman makan sahur Anda di bulan Ramadhan ini. Saya bertanya kepada Fikri lebih jauh tentang keadaannya sehari-hari. Ayah ibunya adalah orang-orang sederhana. Mereka hanya bisa memberi bekal Fikri antara 300 hingga 400 ribu sebulan. Jumlah yang sangat kecil untuk biaya hidup seorang remaja dalam sebulan. Adakah jumlah itu cukup?

‘’Kadang cukup, kadang tidak.’’

‘’Kapan ia cukup, dan kapan ia tak cukup?’’
‘’Saat saya sedang banyak hafalan dan kepala jadi berat. Butuh jajan gorengan.’’

Dari sini, saya mengerti keadaan Fikri dan keluarganya. Maka ketika Presiden datang membawa sepeda gunung untuk hadiah, Fikri, mengaku di dalam hati berdoa habis-habisan, agar sepeda itu dihadiahkan kepadanya. Doanya terkabul. Tapi sepeda itu bukan untuk dirinya, melainkan untuk ia kirim ke Pekalongan agar menjadi kendaraan ayahnya.
‘’Agar urusan ayah menjad mudah,’’ katanya.


Jawaban Fikri ini hampir saja membuat saya berteriak ‘’cut’’ pada sutarada karena sulit melanjutkan bicara. Tetapi segera saya memanipulasi perasaan dengan pertanyaan lanjutan:
‘’Jadi kamu lebih fokus pada sepeda itu, katimbang bertemu pesiden.’’
‘’Iya.’’ Kembali ruangan pecah oleh gelak tawa.

Kebetulan saat itu, Gus Yusuf sedang menceritakan bagaimana Rasulullah pernah bersalaman dengan sahabat yang bertangan kasar. Sahabat itu menjawab bahwa ia harus bekeja keras setiap kali demi mencari nafkah untuk keluarganya. Sebuah jawaban yang membuar Rasul menjangkau tangan kasar itu kembali dan menciumnya. 

Cerita itu juga hampir membuat saya berteriak ‘’cut’’ untuk kedua kali. Lalu saya bertanya pada Gus Yus, apakah juga boleh kalau saya mencium tangan Fikri. ‘’Ciumlah,’’ kata Gus Yusuf. Dan saya mencium tangannya.

Adegan itu mungkin dibalut gelak tawa, tetapi saya sedang bersungguh-sungguh mengajar diri sendiri, untuk tunduk kepada siapapun pengajar kebaikan. Kepada bapak ibu saya, saya tidak semulia Fikri. Saya terkenang-kenang terus kebahagiaan anak itu saat mengirim ayahnya sepeda.

Kepada Gus Yusuf saya bertanya:
‘’Sempat singgah kritik, santri Anda tak hafal nama menteri.’’
‘’Tak mengapa. Pertanyaan serupa tak ditanyakan di alam kubur,’’ jawab Gus Yusuf.
(Fikri ditemani salah seorang pengasuh pondok, Adang Legowo)
( Thia 24 Mei 2016)

RENUNGAN “ MALAM NISFU SYA”BAN”



Sejawat yang disayang Allah...
Seorang yang mengagungkan dan meneladani Rasulullah SAW pasti sangat ingin mengetahui apa yang beliau ajarkan tentang segala sesuatu. Ini renungan tentang malam tanggal 15 Sya’ban, atau yang dikenal dengan Malam Nisfu Sya’ban 

Imam Ahmad meriwayatkan Rasulullah Saw. bersabda, “Allah mengampuni semua dosa hamba-hamba Nya pada malam Nisyfu Sya’ban kecuali dosa orang yang musyrik dan orang yang bermusuhan.”

Abdullah bin Mas’ud ra. berkata bahwa Nabi SAW telah bersabda,“Barangsiapa mengerjakan shalat di malam Nisfu Sya’ban 100 raka’at dan pada tiap-tiap raka’atnya membaca QS. Al-Fatihah (sekali) dan QS. Al-Ikhlas 5 kali, maka Allah SWT akan menurunkan/mengirimkan 500.000 malaikat. Tiap-tiap malaikat membawa satu daftar catatan (yang terbuat) dari cahaya. Mereka menuliskan pahala (orang yang shalat pada mala Nisfu Sya’ban) sampai hari kiamat.”

Anas bin Malik bercerita bahwa Rasulullah pernah menyuruhnya pergi ke rumah Aisyah untuk suatu keperluan. Anas berkata kepada Aisyah, “Cepatlah, karena saya meninggalkan Rasulullah Saw. sedang membicarakan malam Nisyfu Saban.”Aisyah berkata kepadanya, “Duduklah, saya akan menyampaikan kepada Anda hadis tentang Nisyfu Sya’ban. Pada malam Nisyfu Sya’ban kebetulan ia adalah malam giliran saya. Pada malam itu, saya terbangun, tetapi saya tidak menemukan beliau berada di sisi saya. Saya mengira beliau pasti mengunjungi budak yang bernama al-Qibthiyah. Saya keluar melewati masjid,tiba-tiba kaki saya menyandung Rasulullah Saw yang saat itu sedang berdoa,

Jiwaku tunduk kepada Mu, hatiku beriman kepada Mu. Inilah tanganku dan apa yang kusembunyikan dalam diriku . Wahai Yang Mahaagung, ampunilah dosa-dosaku. Wajahku bersujud kepada Mu, duhai Sang Pencipta.
Ya Allah , berilah aku hati yang bersih dari perbuatan syirik, kufur dan dari perbuatan-perbuatan orang yang celaka.”
Beliau lalu sujud dan berdoa, “Tuhanku aku berlindung kepada keridhoan Mu darimurka Mu, kepada pengampunan Mu dari siksa Mu. Aku tidak mampu memuji Mu seperti Engkau memuji diri Mu sendiri. Aku hanya mampu berkata seperti apa yang diucapkan saudaraku Daud. Kubenamkan wajahku kedalam tanah karena keagungan Tuhan ku. ”

Lalu beliau mengangkat kepalanya kembali. Beliau berkata padaku, “Wahai Humayra, apakah engkau tidak tahu bahwa malam ini malam Nisyfu Saban ? Pada malam ini Allah membebaskan hamba-hamba Nya dari neraka sebanyak bilangan bulu kambing, kecuali enam orang ; peminum arak, orang yang menyakiti kedua orang tuanya, orang yang berbuat zina, orang yang memutuskan silaturahmi, para penjudi, dan orang yang suka marah-marah tanpa alasan.”

=================== 
SELAMAT SORE SEJAWAT 

Malam "NISYFU SYA'BAN" jatuh pd tgl 1 Juni 2015/ mlm selasa , Adalah Malam di Tutupnya BUKU AMAL Manusia !Menjelang Ramadhan Malaikat Jibril Berdoa :

Ya ALLAH Abaikan Puasanya Umat MUHAMMAD SAW Bila Sebelum Masuk Ramadhan Tdk Memohon MAAF pd Kedua Org Tuanya (bila msh hidup), Keluarganya & Orang2 Sekitarnya, Lalu Rosulullah Mengamininya sampai 3 X Amiin Amiin Amiin !.

Dalam Hadish lain Nabi saw : Barangsiapa yg Mengingatkan Pada sesama Mengenai Bulan ini (Nisfu Sya'ban) Maka Allah Haramkan Api Neraka Bagi nya. 

Dengan segala kerendahan hati saya menghaturkan : "Mohon Maaf Lahir Batin", Jika Terselip khilaf dlm Canda, Tergores Luka dlm Tawa,Tersinggung Rasa dlm Bicara, Mari Kita Awali Ramadhan, Dgn Hati yg Bersih & Suci.

"MARHABAN YA RAMADHAN"

( Thia 1 Juni 2015)

MENGEMBALIKAN KOPI PADA KHITTAHNYA

Dibandingkan nge-Teh saya lebih senang ngopi, mungkin salah satu determinannya adalah karena ada kebun kopi di rumah, kebun turun menurun dari jaman baheula hingga saya besar, yaaahh boleh di bilang saya “ CINTA” kopi sejak kecil.. Dulu semasa eyang masih ada, kopi dari kebun yang sudah di jemur, digiling untuk dipisah dari kulitnya, dengan tangan yg handal kopi kemudian di sangrai diolah menjadi kopi bubuk murni. Hmmmmmmm kopi buatan sendiri rasanya khas, nikmat nya tidak kalah dengan kopi pabrikan lain, Eyang selalu memperlakukan kopi – kopinya dengan penuh cinta…..

Saya pernah baca di harian Kompas, profil H. Yusrin, pendiri perusahaan kopi Aceh Gayo Bergendal. Dia bilang, “Kopi itu punya hati. Karena itu, kita harus mengolahnya dengan hati pula”. “Jika hati kopi itu patah, aroma dan rasa sedapnya rusak. Percaya atau tidak, kopi itu seperti manusia. Hatinya tidak boleh patah”.

"Black as the devil, hot as hell, pure as an angel, sweet as love.",Untaian kata-kata tersebut telah disampaikan oleh Charles Maurice de Talleyrand Perigord (1754-1838), seorang diplomat Prancis untuk menerjemahkan resep bagi sajian kopi yang semestinya. Rupanya Talleyrand paham betul bahwa secangkir kopi akan terasa nikmat jika diracik sesuai dengan kali pertama kopi dinikmati di seluruh penjuru dunia: bubuk kopi murni, gula, dan disajikan dalam keadaan panas.

Resep kopi versi Talleyrand sejak 2 abad lalu tersebut rupanya semakin lama semakin bergeser. Jadi jangan heran kalau di kafe-kafe sepanjang jalan protokol maupun pertokoan di kota-kota besar, mulai dari New York sampai New Delhi, dari kota besar negara-negara makmur sampai negara-negara miskin terpampang papan menu minuman berbasis kopi yang semakin hari deretannya semakin panjang: Café latte, cappuccino, Espresso con panna, Red eye, dst. Indonesia sendiri baru – baru ini booming dengan kopi Sianida….(hehehe..)

Saya punya cara sendiri menikmati kopi, paling senang menikamti kopi di Malam hari, saat suasana tenang sambil membaca buku di ruang “Permin” alis perpustakaan mini sambil melarutkan diri dalam tumpukan buku - buku.

Mengutip ustadz salim a. fillah Semangat tempat 'nongkrong' nyaman yang dilengkapi perpustakaan mini ini adalah mengembalikan kopi pada khittahnya seperti ketika dibawa dari dataran tinggi Ethiopia ke wilayah Mukha' di Yaman pada abad ke-8. Kopi, kala itu adalah minuman dua macam manusia. Pertama, ahli ibadah agar betah menjauhkan diri dari ranjang dan bermesra dengan Allah di malam hari. Kedua, ahli ilmu yang harus menegakkan mata untuk membaca, mendaras, dan membincang kajinya dengan 'ulama lain.

( Thia 26 Mei 2016)

TAKLIM MUTA'ALIM

Ketika membaca SMS ini saya sedih dan sekaligus tertawa, SMS ini merupakan sedikit potret murid di era masa kini, dimana relasi antara murid (mahasiswa) dengan guru (dosen) seolah tanpa batas

 Adalah Kitab Ta'lim Muta'alim .kitab wajib untuk para pencari ilmu, kitab taklim muta'alim adalah (salah satu kitab ulama kuno yang mengajarkan tentang tata cara belajar yang baik dan santun)

Kala masih kuliah S1 dulu beberapa teman aktifis mengkritik kitab tersebut. Mereka menuduh bahwa ajaran dalam Kitab tersebut berpotensi membelenggu kebebasan berfikir karena seorang murid (mahasiswa) diharuskan patuh dan tunduk kepada guru (dosen). Kitab ini dianggap tidak relevan dengan sistem belajar dan mengajar diera modern yg berlaku di universitas. sehingga mengkritik guru (dosen) dipandang sebagai tindakan melanggar etika kesopanan,

Kendati demikian, saya masih tetap konsisten mengamalkan ajaran Kitab Ta'lim Muta'alim hingga sekarang, bahkan ketika saya memasuki jenjang S3 sekali pun, saya tetap menghormati dosen dan professor yang bule tersebut layaknya saya menghormati para ustaz dan gurunya saat belajar agama di pesantren dulu.

Pernah suatu saat saya dikatakan 'bodoh kamu' dari seorang professor karena saya tidak cakap dalam menyampaikan teori. Alhamdulillah, saya tidak memiliki perasaan marah ataupun dendam kepada professor saya yang sepuh itu. Beberapa hari kemudian kami bertemu dan bercakap-cakap santai, dan alhamdulillah saat melihat hasil UAS saya mendapatkan nilai (A-) untuk mata kuliah beliau," Kata 'bodoh" dari profesor tersebut saya jadikan bekal untuk mengevaluasi diri.

Ada satu hal yang tidak dimiliki oleh sistem belajar modern saat ini yaitu sugesti atau kepercayaan akan adanya 'keberkahan ilmu'. Dimana salah satu syarat mendapatkannya adalah dengan menghormati guru baik melalui sikap, prilaku maupun ucapan.

( Thia 25 Mei 2016)

Senin, 16 Mei 2016

KISAH ROMANTIS ALI DAN FATIMAH

Ada rahasia terdalam di hati Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. 

Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. 
Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ‘Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!
Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu
“Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ‘Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ‘Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; ‘Utsman, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ‘Ali.
Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ‘Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ‘Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakar sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
‘Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. “Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ‘Ali.“Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.
‘Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ‘Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ‘Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ‘Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ‘Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, “Aku datang bersama Abu Bakar dan ‘Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ‘Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ‘Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ‘Umar melakukannya. ‘Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.
‘Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. “Wahai Quraisy”, katanya. “Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ‘Umar di balik bukit ini!” ‘Umar adalah lelaki pemberani. ‘Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ‘Umar jauh lebih layak. Dan ‘Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti
Ia mengambil kesempatan
Itulah keberanian
Atau mempersilakan
Yang ini pengorbanan
Maka ‘Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ‘Umar juga ditolak.Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ‘Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ‘Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
“Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. “Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. ”
“Aku?”, tanyanya tak yakin.
“Ya. Engkau wahai saudaraku!”
“Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
“Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
‘Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
“Engkau pemuda sejati wahai ‘Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, “Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
“Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
“Entahlah..”
“Apa maksudmu?”
“Menurut kalian apakah ‘Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
“Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,
“Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”
Dan ‘Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ‘Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
‘Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ‘Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu” ini merupakan sisi ROMANTIS dari hubungan mereka berdua.
Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”
Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:
“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4)
(Sumber: Salim A. Fillah dalam buku “Mencintai sejantan ‘Ali”)
( Thia 16 Mei 2016)

Minggu, 15 Mei 2016

TIGA PANGGILAN ALLAH YANG WAJIB DIPENUHI

Pertama, panggilan shalat, yaitu ketika azan berkumandang lima waktu sehari semalam. Seruan lima kali sepanjang 24 jam ini terus menggema susul-menyusul bergantian dari satu masjid ke masjid lainnya. Selesai dari negeri yang satu, berpindah ke belahan bumi yang lain, berputar terus selama bumi masih berotasi mengelilingi porosnya. “Allahu akbar … Allahu akbar …!”

Sahabat Ibnu Abbas adalah orang yang sering kali menangis manakala mendengar panggilan azan bergema. Serbannya sering basah oleh tetesan airmatanya yang terus mengalir mengiringi alunan suara sang muazin. Ketika ada yang menanyakan mengapa sampai begitu? Ibnu Abbas menjawab, “Seandainya semua orang tahu makna seruan muazin itu, pasti tidak akan dapat beristirahat dan tak akan dapat tidur nyenyak.” Kalimat Allahu akbar saja mengandung makna panggilan kepada orang beriman yang sedang sibuk mengurusi harta duniawi agar berhenti sejenak, menyambut seruan itu. Mengistirahatkan badan dan segera beramal demi meraih kepentingan dan keuntungan hakiki.

Kedua, panggilan haji. Allah menyeru di dalam firman-Nya: 
“Dan, berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh …” (QS al-Hajj [22] : 27).
Oleh karena itulah, mereka yang menunaikan ibadah haji menjawab seruan itu dengan kalimat talbiah, “Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi. Aku penuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, aku penuhi penggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat, dan kekuasaan hanyalah milik-Mu semata, tiada sekutu bagi-Mu.”

Ketiga, panggilan kematian. Sifat manusia sering kali menunda-nunda panggilan azan. Begitu juga ketika panggilan haji telah tiba, ia pun belum tergerak memenuhinya, walau sudah mampu. Akan tetapi, terhadap panggilan yang satu ini, tidak ada satu pun yang sanggup menghalanginya, apalagi menundanya. Malaikat Izrail, sang pencabut nyawa, atas perintah Tuhannya akan melaksanakan perintah Allah. Ia tidak akan mempercepat walau sesaat jika belum tiba saatnya. Juga tidak akan mengulur waktu walau sedetik apabila sudah datang waktunya.
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Munafiqun [63]: 11).
Dalam ayat lainnya, Allah SWT juga sering mengingatkan umat manusia untuk senantiasa memperhatikan seruan-Nya, mengerjakan segala perintah-Nya, dan menjauhi seluruh larangan-Nya.

Dengan penuh kesadaran diri dan keinsafan iman, marilah kita penuhi panggilan Allah berupa azan shalat saat memanggil, dan panggilan haji ke tanah suci bila kita telah mampu menunaikannya.

Demikian juga panggilan-panggilan yang lain, seperti panggilan dakwah, panggilan jihad, dan panggilan kebaikan lainnya. Sebelum datang panggilan Allah yang tidak dapat ditawar-tawar lagi kehadirannya, yakni panggilan kematian. Sementara mereka yang masih hidup pun hanya sanggup berucap, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nyalah kami kembali.

( Thia 15 mei 2016)