Beberapa waktu lalu, seorang santri menjadi viral di
jejaring sosial karena menjawab secara keliru tiga nama menteri yang
ditanyakan Presiden Jokowi saat Presiden berkunjung ke pesantren itu.
Jawaban yang salah itu segera menimbulkan gelak tawa berkepanjangan
karena nama-mana yang ia sebut adalah nama-nama besar: Ahok, Prabowo dan
Megawati.
Belum lama ini saya mendatangi pengasuh
pesantren itu, Gus Yusuf, di Tegalrejo Magelang dan meminta beliau
adakah berkenan mempertemukan saya dengan santri tersebut. Namanya
Fikri, asal Pekalongan. Saya bertanya kepadanya, bagaimana rasanya
berdekatan dengan presiden dan menjawab pertanyaannya di depan khalayak.
‘’Melayang-layang, ‘’ katanya. Saya tanyakan juga, arti namanya saat ia
usai menyebut nama lengkapnya. ‘’Pikiran yang bersih,’’ jawabya.
‘’Pikiranmu bersih tapi jawabanmu salah,’’ canda saya. Dan ia tergelak
ditingkah gelak hadirin.
Jika tak ada perubahan,
adegan ini akan Anda saksikan sebagai acara televisi teman makan sahur
Anda di bulan Ramadhan ini. Saya bertanya kepada Fikri lebih jauh
tentang keadaannya sehari-hari. Ayah ibunya adalah orang-orang
sederhana. Mereka hanya bisa memberi bekal Fikri antara 300 hingga 400
ribu sebulan. Jumlah yang sangat kecil untuk biaya hidup seorang remaja
dalam sebulan. Adakah jumlah itu cukup?
‘’Kadang cukup, kadang tidak.’’
‘’Kapan ia cukup, dan kapan ia tak cukup?’’
‘’Saat saya sedang banyak hafalan dan kepala jadi berat. Butuh jajan gorengan.’’
Dari sini, saya mengerti keadaan Fikri dan keluarganya.
Maka ketika Presiden datang membawa sepeda gunung untuk hadiah, Fikri,
mengaku di dalam hati berdoa habis-habisan, agar sepeda itu dihadiahkan
kepadanya. Doanya terkabul. Tapi sepeda itu bukan untuk dirinya,
melainkan untuk ia kirim ke Pekalongan agar menjadi kendaraan ayahnya.
‘’Agar urusan ayah menjad mudah,’’ katanya.
Jawaban Fikri ini hampir saja membuat saya berteriak
‘’cut’’ pada sutarada karena sulit melanjutkan bicara. Tetapi segera
saya memanipulasi perasaan dengan pertanyaan lanjutan:
‘’Jadi kamu lebih fokus pada sepeda itu, katimbang bertemu pesiden.’’
‘’Iya.’’ Kembali ruangan pecah oleh gelak tawa.
Kebetulan saat itu, Gus Yusuf sedang menceritakan bagaimana
Rasulullah pernah bersalaman dengan sahabat yang bertangan kasar.
Sahabat itu menjawab bahwa ia harus bekeja keras setiap kali demi
mencari nafkah untuk keluarganya. Sebuah jawaban yang membuar Rasul
menjangkau tangan kasar itu kembali dan menciumnya.
Cerita itu juga
hampir membuat saya berteriak ‘’cut’’ untuk kedua kali. Lalu saya
bertanya pada Gus Yus, apakah juga boleh kalau saya mencium tangan
Fikri. ‘’Ciumlah,’’ kata Gus Yusuf. Dan saya mencium tangannya.
Adegan
itu mungkin dibalut gelak tawa, tetapi saya sedang bersungguh-sungguh
mengajar diri sendiri, untuk tunduk kepada siapapun pengajar kebaikan.
Kepada bapak ibu saya, saya tidak semulia Fikri. Saya terkenang-kenang
terus kebahagiaan anak itu saat mengirim ayahnya sepeda.
Kepada Gus Yusuf saya bertanya:
‘’Sempat singgah kritik, santri Anda tak hafal nama menteri.’’
‘’Tak mengapa. Pertanyaan serupa tak ditanyakan di alam kubur,’’ jawab Gus Yusuf.
(Fikri ditemani salah seorang pengasuh pondok, Adang Legowo)
#Ali Haidar
( Thia 24 Mei 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar