Rabu, 25 Mei 2016

MENGEMBALIKAN KOPI PADA KHITTAHNYA

Dibandingkan nge-Teh saya lebih senang ngopi, mungkin salah satu determinannya adalah karena ada kebun kopi di rumah, kebun turun menurun dari jaman baheula hingga saya besar, yaaahh boleh di bilang saya “ CINTA” kopi sejak kecil.. Dulu semasa eyang masih ada, kopi dari kebun yang sudah di jemur, digiling untuk dipisah dari kulitnya, dengan tangan yg handal kopi kemudian di sangrai diolah menjadi kopi bubuk murni. Hmmmmmmm kopi buatan sendiri rasanya khas, nikmat nya tidak kalah dengan kopi pabrikan lain, Eyang selalu memperlakukan kopi – kopinya dengan penuh cinta…..

Saya pernah baca di harian Kompas, profil H. Yusrin, pendiri perusahaan kopi Aceh Gayo Bergendal. Dia bilang, “Kopi itu punya hati. Karena itu, kita harus mengolahnya dengan hati pula”. “Jika hati kopi itu patah, aroma dan rasa sedapnya rusak. Percaya atau tidak, kopi itu seperti manusia. Hatinya tidak boleh patah”.

"Black as the devil, hot as hell, pure as an angel, sweet as love.",Untaian kata-kata tersebut telah disampaikan oleh Charles Maurice de Talleyrand Perigord (1754-1838), seorang diplomat Prancis untuk menerjemahkan resep bagi sajian kopi yang semestinya. Rupanya Talleyrand paham betul bahwa secangkir kopi akan terasa nikmat jika diracik sesuai dengan kali pertama kopi dinikmati di seluruh penjuru dunia: bubuk kopi murni, gula, dan disajikan dalam keadaan panas.

Resep kopi versi Talleyrand sejak 2 abad lalu tersebut rupanya semakin lama semakin bergeser. Jadi jangan heran kalau di kafe-kafe sepanjang jalan protokol maupun pertokoan di kota-kota besar, mulai dari New York sampai New Delhi, dari kota besar negara-negara makmur sampai negara-negara miskin terpampang papan menu minuman berbasis kopi yang semakin hari deretannya semakin panjang: CafĂ© latte, cappuccino, Espresso con panna, Red eye, dst. Indonesia sendiri baru – baru ini booming dengan kopi Sianida….(hehehe..)

Saya punya cara sendiri menikmati kopi, paling senang menikamti kopi di Malam hari, saat suasana tenang sambil membaca buku di ruang “Permin” alis perpustakaan mini sambil melarutkan diri dalam tumpukan buku - buku.

Mengutip ustadz salim a. fillah Semangat tempat 'nongkrong' nyaman yang dilengkapi perpustakaan mini ini adalah mengembalikan kopi pada khittahnya seperti ketika dibawa dari dataran tinggi Ethiopia ke wilayah Mukha' di Yaman pada abad ke-8. Kopi, kala itu adalah minuman dua macam manusia. Pertama, ahli ibadah agar betah menjauhkan diri dari ranjang dan bermesra dengan Allah di malam hari. Kedua, ahli ilmu yang harus menegakkan mata untuk membaca, mendaras, dan membincang kajinya dengan 'ulama lain.

( Thia 26 Mei 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar