Minggu, 10 April 2016

" ALLAH YANG MEMBERITAHU SEGALANYA "

Hari ini saya dipertemukan dengan sahabat saya dari SD hingga SMP mas Ahmad . Setelah terpisah cukup lama kami dipertemukan di sebuah tempat yang istimewa, yakni di koridor masjid An-Nur yang mungil dan asri. l
Letak mesjid itu di pinggir jalan sangat strategis untuk para pelancong beristirahat untuk sholat. 

Mas Ahmad, begitu saya memanggilnya dari dulu karena walaupun kami setara di bangku sekolah sejatinya beliau lebih tua setahun dari saya. Mas Ahmad masih tetap seperti yang dulu sederhana dan saya selalu suka dengan penampilan dan pembawaannya yang tenang. Orang yang selalu menjaga kesalehannya dan kecintaannya terhadap masjid tidak pernah berubah, kebiasaannya pun juga tidak berubah selalu memperbaharui wudhunya. Dulu bila sekolah dia akan sangat marah bila ada teman wanita menyentuhnya tapi kemarahannya hanya dalam diam karena setelah itu dia akan memperbaharui wudhunya lagi.

"Kapan datang dari Boston Thia".. ?? tanyanya santun sambil melanjutkan aktifitasnya membersihkan kamar mandi masjid dan tempat wudhu, "Kemaren Mas Ahmad", jawab saya
Alhamdulillah Thia sudah sukses ya sekarang . 

Saya hanya tersenyum mendengar ucapannya, selalu saja sama tidak bisa mengatakan apa – apa bila berhadapan dengannya, dengan lirih sayapun menjawab“ Alhamdulillah mas,tapi belum apa - apa dibandingkan mas Ahmad...”Ahh Thia selalu begitu.... jawabnya sambil tertawa kecil

Belum terasa lama mengobrol, sebelum akhirnya teman SMP saya Hafidz datang, Cukup lama saya mecoba mengenalnya, memang agak jauh berbeda

Hampir dua puluh tahun saya tidak bertemu, takut salah.saya coba untuk menyapa..Hafidz !! Siapa yang tidak kenal denga hafidz, apalagi di desa saya orang tuanya sangat disegani, merupakan anak perangkat desa yang sangat kaya raya, Hadifz semasa sekolah memang tidak terlalu menonjol. Dibandingkan dengan Ahmad, Hafidz sangat beruntung keadaaan orang tuanya sangat mendukung karir dan masa depannya dan sahabat saya Ahmad, satu – satunya orang yang membuat saya iri di bangku sekolah. Ahmad orangnya pintar sekali, orang tuanya sangat sederhana, tidak seperti Hafidz keadaan ekonomi Ahmad kurang beruntung secara ekonomi.

Sambil menyapa saya, Hafidz memandang Ahmad, seperti ragu –ragu, Hayooo Fidz masih ingat Nggak, siapa ini... tanya saya sambil menunjuk mas Ahmad
“Maaf,” katanya . “Ini Ahmad kan ? Ahmad kawan SMP sekelas kita dulu?” tanya Hafidz.Yang ditegur tidak kalah mengenali. Lalu keduanya berpelukan. “Thia, Ahmad… Ini kartu nama saya…” kata Hafidz

Alhamdulillah sudah menjadi middle manajer teman saya, ucap saya kagum. dan mas Ahmad juga melihat. “Manager Area…”. Wah, bener-bener keren ya Thia.“Keren sekali kamu ya Fidzs, Manteb…” ujar Ahmad. Hafidz terlihat masih dalam keadaan memakai dasi. Lengan yang digulungnya untuk persiapan wudhu, menyebabkan jam bermereknya terlihat oleh Ahmad.

“Ah, biasa saja, Datang saja ke kantorku Thia ,Ahmad kalau kalian butuh sesuatu” ucap Hafidz sambil menatap iba Ahmad yang sedang memegang kain pel. Celana digulung dengan peci didongakkan sehingga jidat hitamnya terlihat jelas.

Ayoo ngobrolnya kita lanjut nanti kita sholat ashar dulu, potong saya.. Akhirnya kami sholat berjamaah, dan Ahmad sebagai imam. Selepas sholat kami melanjutkan pembicaraan obrolan kecil tentang masa sekolah SMP dulu, sampai akhirnya Hafidz memutuskan pembicaraan “Maaf Teman, kapan – kapan kita ngobrol ya. 


Maaf, di kantor saya ada pekerjaan yang lebih baik dari sekadar membersihkan di masjid ini. Maaf…” kata hafidz sambil melirik ahmad. Ahmad tersenyum. Ia mengangguk.
“ Saya juga pamit Thia, kata mas Ahmad. Saya juga menyelesaikan pekerjaan bersih-bersih dulu, ”balas Ahmad. Monggo mas “ jawab saya sambil melihat mas ahmad pergi...

Sambil jalan menuju Mobil, Hafidz masih cukup terperangah dengan keadaan Ahmad. “ Sungguh nggak nyangka Thia , Ahmad yang pintarnya minta ampun kini cuman sebagai tukang bersih – bersih masjid “
“ Apa salahnya menjadi orang yang membersihkan masjid Fidz, tidak ada salahnya, mau pekerjaan apapun asalkan halal, jawab saya”

“ Ya bukan begitu Thia, aku tidak habis pikir mengapa Ahmad yang pintar kemudian harus terlempar dari kehidupan normal. Ya, meskipun tidak ada yang salah dengan pekerjaan sebagai pembersih masjid, Andai saja Ahmad mengerjakan pekerjaannya ini di kantorku, maka sebutannya “office boy” Thia, Bayangkan anak yang pintar seperti ahmad harus jadi Office Boy, haduuhhh kejamnya dunia ini Thia 

“ Fidz, Allah meletakkan kita di posisi tertentu bukan sebuah ketebetulan” kita tidak pernah tahu Rahasia Allah terhadap hambanya “ jawab saya pendek ( andai saja Hafidz tahu bahwa ahmad.... )

Belum selesai berbicara ,seorang anak muda menghampiri saya dan Hafidz, Maaf pak maaf Bu
“Iya Mas..?” jawab Hafidz
“Pak, Bu.... ini bingkisan dari Haji Ahmad?” katanya.
“Haji Ahmad?” ujar Hafidz.
“Ya, Haji Ahmad…” balasnya.
“Haji Ahmad yang mana?” tanya Hafidz balik
“Itu, yang tadi ngobrol sama Bapak dan Ibu…” jawab anak muda tersebut.
“Oh… Ahmad. Iya. kenal. kawan saya dulu di SMP, emangnya udah haji dia?”katanya.
“Dari dulu udah haji Pak, dari sebelum bangun ini masjid.” terangnya..kalimat itu begitu datar, tapi cukup membuat Hafidz bengong

Anak muda ini kemudian menambahkan, “Beliau orang hebat Pak tawadhu’ dan saya karyawannya beliau. Beliau yang bangun masjid ini Pak, diatas tanah wakafnya sendiri. Beliau bangun sendiri masjid ini sebagai masjid transit bagi mereka yang mau shalat. Bapak lihat pondok dan toko material di sebelah masjid ini… diri ujung sini sampai sana itu Pak .. tokonya beliau. Tapi beliau lebih suka menghabiskan waktunya di masjid sini. jelasnya.

Saya melihat Hafidz setengah tidak percaya dengan ucapan karyawan Ahmad, setelah berpamitan, dia pergi begitu saja tanpa mengucapkan apapun dan dalam perjalanan saya pun semakin kagum dengan kesederhanaan Ahmad

Mas Ahmad memang merasa tidak perlu menjelaskan apa-apa, tapi kemudian Allah yang memberitahu siapa dia sebenarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar