Jika kita membaca sejarah tokoh-tokoh besar sepanjang sejarah umat manusia itu selalu akrab dengan buku. Satu di antaranya adalah sosok yang satu ini, yang uniknya hidupnya bahkan dimulai di sebuah perpustakaan.
Suatu hari di sebuah rumah di penjuru negeri
Mesir, seorang lelaki meminta istrinya mengambil sebuah buku dari perpustakaan
di rumah mereka. Terbebani oleh beratnya buku sang
istri yang tengah hamil tua pun terjatuh kesakitan hingga akhirnya melahirkan
seorang anak lelaki di tengah tumpukan buku-buku.
Enam tahun setelah kelahirannya ayah si bocah wafat. Takdir pun mengantarkan anak yatim itu hingga akhirnya berkesempatan menjadi pengurus perpustakaan terbesar di negeri Mesir saat itu. Sembari belajar di bawah bimbingan guru-guru terbaik dan melahap buku-buku tebal semasa mudanya, Ia pun tumbuh menjadi pemuda yang jatuh hati pada buku dan ilmu.
Di usinya yang ke-17 Ia sudah menulis beberapa jilid buku tentang kaidah bahasa Arab. Saat usinya menginjak kepala empat karya-karyanya sudah menembus angka 300 jilid di berbagai bidang ilmu seperti tafsir Quran, Hadits, dan bahkan Ilmu Kedokteran. Uniknya, beliau kemudian memutuskan untuk pensiun dari dunia kepenulisan dan mengumumkan kepensiunannya dengan menulis buku pula.
Saat ini lebih dari 500 tahun usai wafatnya, karya-karyanya yang diperkirakan mencapai 700 jilid buku masih dibaca dan diajarkan di seluruh penjuru dunia serta diterjemahkan ke berbagai bahasa. Salah satu karya monumentalnya yang ditulis bersama dengan Jalaluddin Al-Mahally, tokoh yang tak kalah penting di zaman itu, yakni Tafsir Jalalayn, dikupas hampir di tiap pesantren di Indonesia, termasuk juga di langgar kecil di pedalaman Jawa Timur tempat saya dilahirkan.
Nama lelaki itu: Jalaluddin As Suyuti, orang memanggilnya: Ibnu Al-Kutub, putra dari buku-buku. Beliau hanya satu di antara sekian banyak contoh betapa besar peran buku dalam membentuk karakter dan kepribadian seseorang.
Enam tahun setelah kelahirannya ayah si bocah wafat. Takdir pun mengantarkan anak yatim itu hingga akhirnya berkesempatan menjadi pengurus perpustakaan terbesar di negeri Mesir saat itu. Sembari belajar di bawah bimbingan guru-guru terbaik dan melahap buku-buku tebal semasa mudanya, Ia pun tumbuh menjadi pemuda yang jatuh hati pada buku dan ilmu.
Di usinya yang ke-17 Ia sudah menulis beberapa jilid buku tentang kaidah bahasa Arab. Saat usinya menginjak kepala empat karya-karyanya sudah menembus angka 300 jilid di berbagai bidang ilmu seperti tafsir Quran, Hadits, dan bahkan Ilmu Kedokteran. Uniknya, beliau kemudian memutuskan untuk pensiun dari dunia kepenulisan dan mengumumkan kepensiunannya dengan menulis buku pula.
Saat ini lebih dari 500 tahun usai wafatnya, karya-karyanya yang diperkirakan mencapai 700 jilid buku masih dibaca dan diajarkan di seluruh penjuru dunia serta diterjemahkan ke berbagai bahasa. Salah satu karya monumentalnya yang ditulis bersama dengan Jalaluddin Al-Mahally, tokoh yang tak kalah penting di zaman itu, yakni Tafsir Jalalayn, dikupas hampir di tiap pesantren di Indonesia, termasuk juga di langgar kecil di pedalaman Jawa Timur tempat saya dilahirkan.
Nama lelaki itu: Jalaluddin As Suyuti, orang memanggilnya: Ibnu Al-Kutub, putra dari buku-buku. Beliau hanya satu di antara sekian banyak contoh betapa besar peran buku dalam membentuk karakter dan kepribadian seseorang.
Saya tak butuh rumah megah. cukuplah rumah sederhana dengan perpustakaan kecil
berisi lemari-lemari buku tempat saya bisa leluasa membaca lembar demi lembar
halamannya. Seperti kata Bung Hatta:"Aku rela di penjara asalkan bersama buku,
karena dengan buku aku bebas."
(Thia.16 desember 2015)