Jumat, 08 April 2016

" BERTEMU ABAH (1) "


Sedikit saya agak ragu memasuki halaman pondok karena dihalaman  berjejer beberapa mobil mewah tentu lengkap dengan mobil patwal . Sepertinya  beberapa pejabat yang hadir di pondok itu ada yang saya kenal dari mereka, itupun karena wajahnya sudah tidak asing menghiasai layar kaca televisi. Beberapa orang lainya saya tau karena mereka sebagian besar adalah anggota dewan yang namanya sudah sangat dikenal, dan dipojok sana  ada teman saya yang saat ini menjabat sebagai rektor salah satu Universitas ternama di kota Jawa Timur

Hampir saja saya mengurungkan niat untuk masuk kedalam pondok, kalo tidak karena Umi yang tiba – tiba muncul .. Thia.... ayooo kemari !!!. Saya pun masuk ke “ Ndalem” utama dimana Abah dan Umi tinggal. Rumah yang sangat sejuk dan menenangkan, di Ndelem utama ini biasanya Abah menerima tamu. Tapi hari itu saya melihat tak seorangpun di dalam Ndalem utama, suasana yang sangat berbeda, karena di luar ada banyak sekali beberapa orang penting dan petinggi negeri 

Thia kira ada acara Umi..., karena diluar ramai sekali...

Iya mereka mau ketemu Abah, tapi Abah sedang puasa .Bukannya semua tamu juga puasa Umi, sekarang kan Ramdahan ?? Bukan Puasa itu Thia, kata Umi sambil tersenyum...

Pulang ke Pondok ini memang serasa pulang ke rumah, Abah dan Umi sudah saya anggap seperti ayah sendiri, di Pondok ini dulu almarhum Bapak menitipkan saya kalau sore. Bukan pondokan yang besar tapi pondok pesantren khusus tahfidz Al-Qur’an. Disinilah hampir tiap hari saya belajar dari jam dua siang hingga jam delapan malam. Dari jam 2 sampai jam 4 kami biasanya mengaji kitab, selepas ashar dilanjut dengan menghafal hingga jam delapan  malam

Abah dan Umi punya 13 orang anak dan Alhamdulillah semua penghafal Al-Qur’an. Walaupun tidak semua mengikuti jejak Abah, tapi bisa di bilang akhlak putra – putra abah sangat menganggumkan, benar – benar keluarga islami yang patut dijadikan suri tauladan...

Tak lama setelah berbincang dengan Umi , Gus Iwan putra bungsu Abah keluar..Ehhh ..Ning Thia, kapan rawuh dari Amerika ?? Satu minggu yang lalu Gus, jawab saya..
Di belakang Gus Iwan, saya melihat Abah berjalan tertatih – tatih...Saya berdiri melihat Abah berjalan menghampiri saya dan Umi...Abah tersenyum melihat saya...
“Wis Suwi Nduk “ ??? tanya Abah“ Baru saja Abah ? jawab saya...

“Umimu ini lho Nduk, sering mengeluh sakit  habis operasi dua tahun yang lalu, Umi merasa ada yang tidak enak “... Ayooo sayang, ngomong mumpung ada anak wadon mulih ?? kata Abah..  “Saya tersenyum melihat romantisme Abah dan Umi, mata saya melirik Umi di panggil sayang oleh Abah, wajah Umi merona dan tersipu malu...”Saya cemburu melihat romantisme abah dan umi , celetuk saya pada Umi.. Abahmu ya begitu Nduk...
 

“Abah kan sibuk Umi hampir seluruh waktunya habis untuk umat , tidakkah Umi cemburu karena sepertinya Abah hampir tidak memiliki waktu untuk keluarga “ 
” Thiaa.. Abahmu itu sibuk bukan untuk waktu yang sia – sia, Abah itu bekerja dan bekerja di mana Gusti Allah adalah pemiliknya, Meskipun sehari hanya 3 – 4 jam saja Umi bisa bersama Abah itu sudah lebih dari cukup Nduk , memang kudu sabar, Nda pareng mengeluh “
 

“Belum selesai umi bicara, sebuah tangan sudah berada diatas kepala saya, tangan Abah..... 
"Thia, ke sholehan istri sejati itu kuncinya dua nduk yaitu Ilmu dan Iman”
Pripun Abah maksutnya.??? Kowe mesti ngaji sama Umi-mu soal itu”...“ Inggih Abah,sahut saya...
"Yo Wis, Pulang sana, besok kemari lagi kata Abah ...” 
“Thia di usir nih Abah... padahal Thia mau buka di Pondok”

“ Sambil tersenyum Abah bilang, Di rumahmu wes ono sing ngenteni, kasihan kalo menunggu lama, kalo ketemu tamumu jangan masukkan lagi apa yang wes mbok keluarkan??

( To Be Continue)

( Thia ,7 juli 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar