Sabtu, 02 April 2016

MENCINTAI TANPA SYARAT


Dilihat dari usianya beliau sudah tidak muda lagi, usia yang sudah senja bahkan sudah mendekati malam, Pak Suyatno usianya limapuluh delapan  tahun, kesehariannya diisi dengan merawat istrinya yang sakit. Istrinya juga sudah tua, mereka menikah sudah lebih tiga puluh dua tahun. Mereka dikarunia 4 orang anak dan disinilah awal cobaan menerpa. Setelah istrinya melahirkan anak ke empat tiba-tiba kakinya lumpuh dan tidak bisa digerakkan itu terjadi selama dua tahun. Menginjak tahun ke tiga seluruh tubuhnya menjadi lemah bahkan terasa tidak bertulang lidahnyapun sudah tidak bisa digerakkan lagi.

Setiap hari pak Suyatno memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi dan mengangkat istrinya ke atas tempat tidur. Sebelum berangkat kerja dia letakkan istrinya di depan TV supaya istrinya tidak merasa kesepian. Walau istrinya tidak dapat bicara tapi dia selalu melihat istrinya tersenyum. Untunglah tempat usaha pak Suyatno tidak begitu jauh dari rumahnya sehingga siang hari dia pulang untuk menyuapi istrinya makan siang.  Sorenya dia pulang memandikan istrinya, mengganti pakaian dan selepas maghrib dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan apa-apa saja yang dia alami seharian.

Walaupun istrinya hanya bisa memandang dan tidak bisa menanggapi, pak Suyatno sudah cukup senang bahkan selalu menggoda istrinya setiap berangkat tidur. Rutinitas ini dilakukan Pak Suyatno lebih kurang 25 tahun, dengan sabar dia merawat istrinya bahkan sambil membesarkan ke empat buah hati mereka, sekarang anak-anak mereka sudah dewasa tinggal si bungsu yang masih kuliah.

Pada suatu hari ke empat anak Suyatno berkumpul di rumah orang tua mereka sambil menjenguk ibunya. Karena setelah anak mereka menikah sudah tinggal dengan keluarga masing-masing dan Pak Suyatno memutuskan ibu mereka ia yang merawat. Yang dia inginkan hanya satu semua anaknya berhasil. 
Dengan kalimat yang cukup hati-hati anak yang sulung berkata, “Pak kami ingin sekali merawat ibu", semenjak kami kecil melihat bapak  merawat ibu tidak ada sedikitpun keluhan keluar dari bibir bapak, bahkan bapak tidak ijinkan kami menjaga ibu”. Dengan air mata berlinang anak itu melanjutkan kata-katanya” Sudah yang ke empat kalinya kami mengijinkan bapak menikah lagi, kami rasa ibupun akan mengijinkannya, kapan bapak menikmati masa tua bapak dengan berkorban seperti ini kami sudah tidak tega melihat bapak, kami janji  akan merawat ibu sebaik-baik secara bergantian”.

Pak Suyatno menjawab hal yang sama sekali tidak diduga   anak-anak mereka. “Anak-anakku !!!”, jikalau perkawinan dan hidup di dunia ini hanya untuk nafsu mungkin bapak akan menikah, tapi ketahuilah dengan adanya ibu kalian di sampingku itu sudah lebih dari cukup, dia telah melahirkan kalian. 
Sejenak kerongkongannya tersekat … kalian yang selalu kurindukan hadir di dunia ini dengan penuh cinta yang tidak satupun dapat menghargai    dengan apapun. Coba kalian tanya ibumu apakah dia menginginkan keadaanya seperti ini. Kalian menginginkan bapak bahagia, apakah batin bapak bisa bahagia meninggalkan ibumu dengan keadaanya sekarang, kalian menginginkan bapak yang masih diberi Tuhan kesehatan dirawat oleh orang lain, bagaimana dengan ibumu yg masih sakit”.  

“Jika manusia di dunia ini mengagungkan sebuah cinta dalam perkawinannya, tetapi tidak mau memberi (memberi waktu, tenaga, pikiran, perhatian ) adalah kesia-siaan. 

Bapak memilih ibu menjadi pendamping hidup. sewaktu Ibu sehat diapun dengan sabar merawat dan mencintai ,Bapak   dengan hati dan batinnya bukan dengan mata. Sekarang Ibu sakit karena berkorban untuk cinta kita bersama dan itu merupakan ujian bagi Bapak, apakah Bapak dapat memegang komitmen untuk mencintainya apa adanya. Sehat pun belum tentu Bapak mencari penggantinya apalagi dia sakit”.   Sejenak meledaklah tangis anak-anak  pak Suyatno merekapun melihat  butiran-butiran  kecil jatuh dipelupuk mata ibu Suyatno dengan pilu ditatapnya mata suami yang sangat dicintainya itu.
 
(Thia, 12 Januari 2015)