Alhamdulillah
lebaran tahun ini adalah lebaran saya pertama seorang diri setelah Eyang wafat
tinggallah saya sendiri. Namun demikian beberapa tradisi lebaran saat almarhum
Eyang masih hidup masih saya lestarikan, kalo boleh meniru istilah dari “Dodit Stand Up Comedy” bisa dibilang
meskipun kami di besarkan di Eropa keluarga kami sangat memengang erat
kebudayaan Jawa.
Sore ini saya merencanakan
silaturahmi ke orang yang paling berjasa dalam menemani keseharian saya, siapa
lagi kalu bukan Mbak Endang dan Pak Usman. Beliau berdua ini tinggal di daerah
Tumpang – Malang kalau dari tempat Eyang kurang lebih 1 jam sampai 1,5 jam
perjalanan. Hujan rintik – rintik yang mengguyur membuat saya agak berhati–hati
mengendarai mobil dan benar saja setelah 1,5 jam saya baru sampai di tempat.
Desa Mbak Endang dan Pak Usman ini
masih sangat asri tidak jauh berbeda dari tempat Eyang saya, Hawa sore habis
hujan menyeruakkan bau tanah yang sangat khas,sayangnya saya tidak bisa
berlama–lama di tempat Mbak Endang dan Pak Usman mengingat hari sudah menjelang
malam .Sepertinya Pak Usman tidak tega melihat saya pulang sendiri akhirnya
malam ini saya pulang ditemani Beliau berdua sekalian menjadi teman, tapi
lumayanlah ada teman setelah semalam saya merasa agak ketakutan sendiri di
rumah.
Selama perjalanan pulang saya di
temani tembang “Lir–ilir nya mas Opick” Tidak seperti versi pendahulunya atau
konsep aslinya, tembang mas Opick ini lebih terdengar kekinian Tembang ini menemani saya yang selama
perjalanan pulang membaca buku Biografi Kyai Hamid Pasuruan.Buku yang dibelikan
teman saya 9 Tahun silam seharga Rp. 30.000dan buku yang syarat dengan
keteladanan. Insya Allah setelah selesai membaca buku ini akan saya ceritakan
kepada sobat. Banyak hikmah dan banyak keteladanan.
Kembali pada tembang Lir–ilir, sobat tahu tidak bahwa lagu Ilir-ilir pada zaman Kerajaan Jawa Islam sangat populer dinyanyikan sebagai tembang dholanan di kalangan anak-anak dan masyarakat.
Kembali pada tembang Lir–ilir, sobat tahu tidak bahwa lagu Ilir-ilir pada zaman Kerajaan Jawa Islam sangat populer dinyanyikan sebagai tembang dholanan di kalangan anak-anak dan masyarakat.
Tembang ini mengingatkan saya akan
Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga sangat bersifat toleran pada budaya lokal dan
itu menjadi salah satu trik dakwah Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga berkeyakinan
jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang.
Beliau selalu memperkenalkan agama secara luwes tanpa menghilangkan adat-istiadat/kesenian daerah (adat lama yang ia beri warna Islami) yang telah ada sebelumnya. Beliau terkenal dengan dakwahnya yang ajarannya terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk. Salah seni suara suluk karya Sunan Kali Jaga yang terkenal salah satunya adalah tembang Lir-ilir. Salah satu tembang Jawa di gunakan Sunan Kalijaga untuk melakukan dakwah Islam di Jawa.
Beliau selalu memperkenalkan agama secara luwes tanpa menghilangkan adat-istiadat/kesenian daerah (adat lama yang ia beri warna Islami) yang telah ada sebelumnya. Beliau terkenal dengan dakwahnya yang ajarannya terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk. Salah seni suara suluk karya Sunan Kali Jaga yang terkenal salah satunya adalah tembang Lir-ilir. Salah satu tembang Jawa di gunakan Sunan Kalijaga untuk melakukan dakwah Islam di Jawa.
Tembang lir-ilir liriknya berbunyi :
Lir-ilir,
Lir Ilir ,
Tandure
wong sumilir ,
Tak ijo royo-royo,
Tak
sengguh temanten anyar,
Cah
Angon, …Cah Angon,
Penekno
Blimbing Kuwi,
Lunyu-lunyu
penekno,
Kanggo
Mbasuh Dodotiro, Dodotiro Dodotiro,
Kumintir
Bedah ing pinggir, Dondomono, Jrumatono,
Kanggo
sobo mengko sore,
Kanggo
mbasuh dodotiro
Mumpung
Padhang Rembulane,
Mumpung
Jembar Kalangane ,
Yo surako surak Iyo
Dalam Orde Lama dan Orde Baru nyanian ini terdaftar sebagai lagu wajib dalam lembaga-lembaga umum di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Namun pada era reformasi sekarang ini lagu tersebut jarang dinyanyikan kalangan anak-anak bahkan sudah tidak pernah lagi. Lagu ini mulai kembali digemakan baik dalam nuansa religius sebagaimana ditampilkan oleh grup musik Kyai Kanjeng yang digawangi seniman dan budayawan Emha Ainun Najib dan terkahir dibawakan Kang Mas Opick dengan konsep kekinian, meskipun bukan konsep aslinya lumayan juga untuk didengar. Tembang Lirilir ini populer dalam berbahasa Jawa karena diciptakan di Jawa, arti dalam bahasa Indonesianya kurang lebih seperti ini :
Sayup-sayup,
sayup-sayup bangun (dari tidur).
Tanaman-tanaman
sudah mulai bersemi,
Demikian
menghijau bagaikan gairah pengantin baru.
Anak-anak
penggembala, tolong panjatkan pohon blimbing itu,
walaupun
licin tetap panjatlah untuk mencuci pakaian.
Pakaian-pakaian
yang koyak disisihkan.
Jahitlah
benahilah untuk menghadap nanti sore.
Selagi
sedang terang rembulannya. S
elagi
sedang banyak waktu luang.
Mari bersoraksorak
ayo”.
Tembang ini memiliki makna yang
mendalam dan makna khusus karena tembang ini bukan tembang biasa. Jika kita
dapat memaknainya secara mendalam, tembang ini sebagai inspirasi kacamata
kehidupan kita.
Dalam alinea pertamanya berbunyi
“Lir-ilir-Lir-ilir”, mempunyai makna bagunlah bukan berarti bangun dari tempat
tidur. Tetapi kita diminta bangun dari keterpurukan, bangun dari sifat malas,
bangun dari kebodohan tentang tidak mengenal Allah, bangun dari sifat yang
buruk penyakit hati, bangun dari kesalahan-kesalahan dan hendaknya kita
senantiasa mohon ampun kepada Allah dan berdzikir untuk lebih mempertebal
keimanan yang telah ditanamkan oleh Allah dan lebih mendekatkan diri kepada
Allah.
“Tandure wong sumilir, Tak ijo
royo-royo tak, senggo temanten anyar”. Bait ini mengandung makna jika kita
telah berdzikir kita akan mendapatkan banyak manfaat bagi kita sendiri dan
menghasilkan buah makrifat atas izin Tuhannya. Pengantin baru ada yang
mengartikan sebagai Raja-raja Jawa yang baru memeluk agama Islam. Sedemikian
maraknya perkembangan masyarakat untuk masuk ke agama Islam, namun taraf
penyerapan dan implementasinya masih level pemula, layaknya penganten baru
dalam jenjang kehidupan pernikahannya masih dalam level pertama.
Selanjutnya makna “Cah angon-cah
angon Penekno Blimbing Kuwi Lunyulunyu Penekno Kanggo Mbasuh Dodotiro”. Cah
angon”? kenapa kata yang di pilih Sunan Kalijaga adalah Cah Angon, bukan
presiden atau para pengusaha,
ini menjadi pertanyaan besar buat kita? Sunan Kalijaga memilih kata “Cah Angon”
karena pada dasarnya Cah Angon adalah pengembala.
Pengembala mempunyai makna seorang yang mampu
membawa makmumnya, seorang yang mampu “menggembalakan” makmumnya dalam jalan
yang benar yang diridhoi oleh Allah. Pengembala dalam tembang disini maksudnya
dapatkah kita menggembalakan dan menahan hati kita dari dorongan hawa nafsu
yang demikian kuatnya dan menahan hal-hal yang membuat kita akan cenderung
melakukan dosa. Kita harus menentang hawa nafsu yang dapat menjerumuskan kita
ke lembah setan yang tidak diridhoi Allah,
dengan cara berpegang teguh dengan rukun Islam yang notabene buah belimbing bergerigi lima buah yang di
ibaratkan rukun Islam.
Jadi meskipun sulit, kita harus
sekuat tenaga tetap berusaha menjalankan rukun islam yang merupakan dasar dari
agama Islam meskipun banyak halangan dan rintangan. “Penekno” ? dalam bahasa
Indonesia adalah “panjatlah” ini adalah ajakan para wali kepada Raja-Raja tanah
Jawa untuk memeluk Islam dan mengajak masyarakat untuk mengikuti jejek para
pemimpin Islam, Nabi dan Rosul dalam
menjalankan syari’at Islam. Walaupun dengan penuh rintangan baik harta, benda
maupun tahta dan godaan lain maka kita harus tetep bertaqwa kepada Allah.
“Dodotiro Dodotiro, Kumitir Bedah
ing pinggir”, yang maknanaya Pakaian taqwa harus kita bersihkan, yang jelek
jelek kita hindari dan kita tinggalkan, perbaiki kehidupan dan akhlak kita,
seperti merajutpakaian hingga menjadi pakaian yang indah ”karena sebaik-baik
pakaian adalah pakaian bertaqwa kepada Allah.
Dondomono, Jlumatono, Kanggo Sebo
Mengko sore ini Pesan dari para wali bahwa suatu ketika kamu akan mati dan akan
menemui Sang Maha Pencipta untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatanmu
didunia baik amal baik maupun amal buruk. Maka perbaikilah dan sempurnakanlah
ke-Islaman kita agar kita selamat pada hari pertanggung jawaban kelak. Pakaian
taqwa kita sebagai manusia biasa pasti terkoyak dan berlubang, untuk itu kita
diminta untuk selalu memperbaiki dan membenahinya agar kelak kita sudah siap
ketika dipanggil menghadap kehadirat Allah SWT.
Mumpung padhang rembulane Mumpung
jembar kalangane Yo surako surak iyo!!! Selagi kita masih ada kesempatan, kita
harus senantiasa mohon ampun kepada Allah, menahan hawa nafsu duniawi yang
dapat menjermuskan kita, dan senantiasa bertaqwa kepada Allah sebagai bekal
pertanggung jawaban kita kelak di akhirat. Begitulah, para wali mengingatkan
agar para penganut Islam melaksanakan hal tersebut ketika pintu hidayah masih
terbuka lebar, ketika kesempatan itu masih ada di depan mata kita, ketika usia
masih menempel pada hayat kita ketika kita masih di beri kesehatan
Maka tidak heran ya, bagi saya Sunan
Kalijaga secara jenius menerjemahkan ajaran Islam dalam rangkaian syair dan
tembang pendek yang memiliki makna mendalam mengenai perlunya seseorang dalam
memperhatikan hidup kita selama di dunia ini.
“…..Lagu Lir Ilir memberi kita pelajaran dan
pesan, hendaknya manusia menyadari, bahwa hidup di dunia ini tidak akan lama
dalam bahasa jawa diibaratkan “urip iku sekedar mampir ngombe” yang maknanya
hidup itu sementara, seyogjanya kita semua harus mempersiapkan diri dengan
sebaik-baiknya sehingga kelak kita akan siap ketika tiba saatnya kita semua
dipanggil menghadap kehadirot Allah SWT…..”.
(Dari berbagai sumber)
(Thia,
28 Juli 2014)