Minggu, 03 April 2016

TEMBANG SPRITUAL" LIR- ILIR"




Alhamdulillah lebaran tahun ini adalah lebaran saya pertama seorang diri setelah Eyang wafat tinggallah saya sendiri. Namun demikian beberapa tradisi lebaran saat almarhum Eyang masih hidup masih saya lestarikan, kalo boleh meniru istilah dari “Dodit Stand Up Comedy” bisa dibilang meskipun kami di besarkan di Eropa keluarga kami sangat memengang erat kebudayaan Jawa.

Sore ini saya merencanakan silaturahmi ke orang yang paling berjasa dalam menemani keseharian saya, siapa lagi kalu bukan Mbak Endang dan Pak Usman. Beliau berdua ini tinggal di daerah Tumpang – Malang kalau dari tempat Eyang kurang lebih 1 jam sampai 1,5 jam perjalanan. Hujan rintik – rintik yang mengguyur membuat saya agak berhati–hati mengendarai mobil dan benar saja setelah 1,5 jam saya baru sampai di tempat.

Desa Mbak Endang dan Pak Usman ini masih sangat asri tidak jauh berbeda dari tempat Eyang saya, Hawa sore habis hujan menyeruakkan bau tanah yang sangat khas,sayangnya saya tidak bisa berlama–lama di tempat Mbak Endang dan Pak Usman mengingat hari sudah menjelang malam .Sepertinya Pak Usman tidak tega melihat saya pulang sendiri akhirnya malam ini saya pulang ditemani Beliau berdua sekalian menjadi teman, tapi lumayanlah ada teman setelah semalam saya merasa agak ketakutan sendiri di rumah.

Selama perjalanan pulang saya di temani tembang “Lir–ilir nya mas Opick” Tidak seperti versi pendahulunya atau konsep aslinya, tembang mas Opick ini lebih terdengar kekinian  Tembang ini menemani saya yang selama perjalanan pulang membaca buku Biografi Kyai Hamid Pasuruan.Buku yang dibelikan teman saya 9 Tahun silam seharga Rp. 30.000dan buku yang syarat dengan keteladanan. Insya Allah setelah selesai membaca buku ini akan saya ceritakan kepada sobat. Banyak hikmah dan banyak keteladanan.

Kembali pada tembang Lir–ilir, sobat tahu tidak bahwa lagu Ilir-ilir pada zaman Kerajaan Jawa Islam sangat populer dinyanyikan sebagai tembang dholanan di kalangan anak-anak dan masyarakat. 
Tembang ini mengingatkan saya akan Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga sangat bersifat toleran pada budaya lokal dan itu menjadi salah satu trik dakwah Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang.

Beliau selalu memperkenalkan agama secara luwes tanpa menghilangkan adat-istiadat/kesenian daerah (adat lama yang ia beri warna Islami) yang telah ada sebelumnya. Beliau terkenal dengan dakwahnya yang ajarannya terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk. Salah seni suara suluk karya Sunan Kali Jaga yang terkenal salah satunya adalah tembang Lir-ilir. Salah satu tembang Jawa di gunakan Sunan Kalijaga untuk melakukan dakwah Islam di Jawa.

Tembang lir-ilir liriknya berbunyi :

Lir-ilir, Lir Ilir , 

Tandure wong sumilir , 
Tak ijo royo-royo,
Tak sengguh temanten anyar, 
Cah Angon,  …Cah Angon, 

Penekno Blimbing Kuwi, 
Lunyu-lunyu penekno, 
Kanggo Mbasuh Dodotiro,  Dodotiro Dodotiro, 
Kumintir Bedah ing pinggir,  Dondomono, Jrumatono,

Kanggo sobo mengko sore, 
Kanggo mbasuh dodotiro  
Mumpung Padhang Rembulane, 
Mumpung Jembar Kalangane ,

Yo surako surak Iyo
   
Dalam Orde Lama dan Orde Baru nyanian ini terdaftar sebagai lagu wajib dalam lembaga-lembaga umum di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Namun pada era reformasi sekarang ini lagu tersebut jarang dinyanyikan kalangan anak-anak bahkan sudah tidak pernah lagi. Lagu ini mulai kembali         digemakan baik dalam nuansa religius sebagaimana ditampilkan oleh grup musik Kyai Kanjeng yang digawangi seniman dan budayawan Emha Ainun Najib dan terkahir dibawakan Kang Mas Opick dengan konsep kekinian, meskipun bukan konsep aslinya lumayan juga untuk didengar.  Tembang Lirilir ini populer dalam berbahasa Jawa karena diciptakan di Jawa, arti dalam bahasa Indonesianya kurang lebih seperti ini :

Sayup-sayup, sayup-sayup bangun (dari tidur).
Tanaman-tanaman sudah mulai bersemi,
Demikian menghijau bagaikan gairah pengantin baru.

Anak-anak penggembala, tolong panjatkan pohon blimbing itu,
walaupun licin tetap panjatlah untuk mencuci pakaian.
Pakaian-pakaian yang koyak disisihkan.

Jahitlah benahilah untuk menghadap nanti sore.
Selagi sedang terang rembulannya. S
elagi sedang banyak waktu luang.
Mari bersoraksorak ayo”.

Tembang ini memiliki makna yang mendalam dan makna khusus karena tembang ini bukan tembang biasa. Jika kita dapat memaknainya secara mendalam, tembang ini sebagai inspirasi kacamata kehidupan kita.

Dalam alinea pertamanya berbunyi “Lir-ilir-Lir-ilir”, mempunyai makna bagunlah bukan berarti bangun dari tempat tidur. Tetapi kita diminta bangun dari keterpurukan, bangun dari sifat malas, bangun dari kebodohan tentang tidak mengenal Allah, bangun dari sifat yang buruk penyakit hati, bangun dari kesalahan-kesalahan dan hendaknya kita senantiasa mohon ampun kepada Allah dan berdzikir untuk lebih mempertebal keimanan yang telah ditanamkan oleh Allah dan lebih mendekatkan diri kepada Allah.

“Tandure wong sumilir, Tak ijo royo-royo tak, senggo temanten anyar”. Bait ini mengandung makna jika kita telah berdzikir kita akan mendapatkan banyak manfaat bagi kita sendiri dan menghasilkan buah makrifat atas izin Tuhannya. Pengantin baru ada yang mengartikan sebagai Raja-raja Jawa yang baru memeluk agama Islam. Sedemikian maraknya perkembangan masyarakat untuk masuk ke agama Islam, namun taraf penyerapan dan implementasinya masih level pemula, layaknya penganten baru dalam jenjang kehidupan pernikahannya masih dalam level pertama.

Selanjutnya makna “Cah angon-cah angon Penekno Blimbing Kuwi Lunyulunyu Penekno Kanggo Mbasuh Dodotiro”. Cah angon”? kenapa kata yang di pilih Sunan Kalijaga adalah Cah Angon, bukan presiden atau para            pengusaha, ini menjadi pertanyaan besar buat kita? Sunan Kalijaga memilih kata “Cah Angon” karena pada dasarnya Cah Angon adalah pengembala.

 Pengembala mempunyai makna seorang yang mampu membawa makmumnya, seorang yang mampu “menggembalakan” makmumnya dalam jalan yang benar yang diridhoi oleh Allah. Pengembala dalam tembang disini maksudnya dapatkah kita menggembalakan dan menahan hati kita dari dorongan hawa nafsu yang demikian kuatnya dan menahan hal-hal yang membuat kita akan cenderung melakukan dosa. Kita harus menentang hawa nafsu yang dapat menjerumuskan kita ke lembah setan yang tidak diridhoi Allah,     dengan cara berpegang teguh dengan rukun Islam yang notabene buah   belimbing bergerigi lima buah yang di ibaratkan rukun Islam.

Jadi meskipun sulit, kita harus sekuat tenaga tetap berusaha menjalankan rukun islam yang merupakan dasar dari agama Islam meskipun banyak halangan dan rintangan. “Penekno” ? dalam bahasa Indonesia adalah “panjatlah” ini adalah ajakan para wali kepada Raja-Raja tanah Jawa untuk memeluk Islam dan mengajak masyarakat untuk mengikuti jejek para pemimpin   Islam, Nabi dan Rosul dalam menjalankan syari’at Islam. Walaupun dengan penuh rintangan baik harta, benda maupun tahta dan godaan lain maka kita harus tetep bertaqwa kepada Allah.

“Dodotiro Dodotiro, Kumitir Bedah ing pinggir”, yang maknanaya Pakaian taqwa harus kita bersihkan, yang jelek jelek kita hindari dan kita tinggalkan, perbaiki kehidupan dan akhlak kita, seperti merajutpakaian hingga menjadi pakaian yang indah ”karena sebaik-baik pakaian adalah pakaian bertaqwa kepada Allah.

Dondomono, Jlumatono, Kanggo Sebo Mengko sore ini Pesan dari para wali bahwa suatu ketika kamu akan mati dan akan menemui Sang Maha Pencipta untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatanmu didunia baik amal baik maupun amal buruk. Maka perbaikilah dan sempurnakanlah ke-Islaman kita agar kita selamat pada hari pertanggung jawaban kelak. Pakaian taqwa kita sebagai manusia biasa pasti terkoyak dan berlubang, untuk itu kita diminta untuk selalu memperbaiki dan membenahinya agar kelak kita sudah siap ketika dipanggil menghadap kehadirat Allah SWT.

Mumpung padhang rembulane Mumpung jembar kalangane Yo surako surak iyo!!! Selagi kita masih ada kesempatan, kita harus senantiasa mohon ampun kepada Allah, menahan hawa nafsu duniawi yang dapat menjermuskan kita, dan senantiasa bertaqwa kepada Allah sebagai bekal pertanggung jawaban kita kelak di akhirat. Begitulah, para wali mengingatkan agar para penganut Islam melaksanakan hal tersebut ketika pintu hidayah masih terbuka lebar, ketika kesempatan itu masih ada di depan mata kita, ketika usia masih menempel pada hayat kita ketika kita masih di beri kesehatan

Maka tidak heran ya, bagi saya Sunan Kalijaga secara jenius menerjemahkan ajaran Islam dalam rangkaian syair dan tembang pendek yang memiliki makna mendalam mengenai perlunya seseorang dalam memperhatikan hidup kita selama di dunia ini.

“…..Lagu Lir Ilir memberi kita pelajaran dan pesan, hendaknya manusia menyadari, bahwa hidup di dunia ini tidak akan lama dalam bahasa jawa diibaratkan “urip iku sekedar mampir ngombe” yang maknanya hidup itu sementara, seyogjanya kita semua harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya sehingga kelak kita akan siap ketika tiba saatnya kita semua dipanggil menghadap kehadirot Allah SWT…..”.

(Dari berbagai sumber)

(Thia, 28 Juli 2014)