A
|
minah binti Wahab ditinggal
oleh suaminya Abdullah, saat sedang
mengandung “Muhammad”. Selama hamil ia tida merasa sakit dan tidak kelelahan “Aku tidak merasa sedang hamil,
tidak pula merasa lelah seperti biasa dialami wanita hamil. hanya aku heran
mengapa haidku berhenti“, kata Aminah.
Di hari Senin, saat Aminah
sedang setengah sadar, seorang mendatanginya dan bertanya “Apakah engkau sedang
merasa hamil”? Aminah pun menjawab aku tidak tau”. “Engkau sedang mengandung
bayi yang kelak akan menjadi pemimpin dan nabi bagi umat ini. Apabila bayimu
lahir ucapkanlah “Aku mohonkan perlindungan baginya kepada yang Maha Esa dari
kejahatan setiap pendengki dan namai lah dia Muhammad”.
Tepat lima puluh hari setelah peristiwa penyerbuan pasukan gajah ke Ka’bah, usia kandungan Aminah telah
mencapai sembilan bulan. Detik demi detik kelahiran sang buah hati kian
mendekat. Aminah merasakan ada yang bergerak-gerak cepat di dalam perutnya.
Semakin lama gerakannya semakin kuat. Aminah tak kuasa menahan sakit, ia segera
berbaring di tempat tidur. Keringat mengucur deras dari tubuhnya, tangannya
mencengkeram kain selimut, menahan rasa sakit yang teramat sangat. Tak lama
berselang, keluarlah tangisan bayi yang memecah kesunyian Ka’bah, saat itu
keluarlah sosok Muhammad dari rahim Aminah. Hari itu Senin, 12 Rabiulawal Tahun
Gajah.
Aminah segera mengirim utusan
ke Abdul Muthallib untuk mengabarkan kelahiran cucunya. Begitu mendapat kabar
itu Abdul Muthallib segera menjenguknya. Setibanya di rumah Aminah ia
menyaksikan pemandangan menakjubkan. Tembikar tempat bayi Muhammad diletakkan,
tiba–tiba terbelah dua. Abdul Muthallib segera menimang cucunya. Dia tau
kelak Muhammad akan menjadi manusia
besar. Sang kakek langsung memboyong cucunya itu masuk Ka’bah, seraya berdoa
dan bersyukur kepada Allah.
Abdul Muthallib dan Aminah
begitu bahagia dengan kehadiran Muhammad, keduanya tidak pernah berhenti
menimang Muhammad kecil. Senyum kebahagiaan tersungging di kedua bibir mereka.
Namun, kegembiraan itu harus segera di akhiri untuk sementara. Bayi yang mungil
dan lucu itu harus segera dicarikan wanita yang dapat menyusuinya.
Aminah berdiri mematung di
pintu rumahnya sambil menggendong
Muhammad kecil. Sudah cukup lama ia di sana, menunggu wanita dari kabilah Bani Sa’ad yang akan menjadi ibu
susu anaknya. Namun, tak satupun rombongan wanita itu mendekatinya. Mereka
enggan menyusui Muhammad kecil karena sang bayi hanyalah anak yatim. Sementara
mereka sendiri sedang mengalami kesulitan ekonomi dan butuh makanan dan harta
untuk menyambung hidup.
Aminah tetap tegar berdiri.
Tidak lama datanglah Halimah menghampiri Aminah “Izinkan aku menjadi ibu
susuannya“ ujar Halimah kepada Aminah. Halimah membawa bayi Muhammad pergi ke
kampung halamannya dengan manaiki unta. Dia memangku Muhammad kecil. Di tengah
perjalanan, ketika hendak menyusui sang bayi, seketika air susunya terasa
penuh. Ia pun menyusui Muhammad hingga kenyang. Anaknya yang selalu menangis
kelaparan sepanjang perjalanan, juga disusuinya hingga tertidur pulas. Ketika
sang suami menghampiri untanya, ia mendapati puting susu unta itu penuh air
susu. Ia pun memerah susu itu kemudian diminum bersama istrinya sampai puas,
lalu mereka tidur pulas malam itu.
Saat keduanya kembali ke desa
bani Sa’ad, Halimah menunggangi unta itu bersama Muhammad kecil, anehnya, unta
yang semula tak mampu bergerak cepat, sekarang bisa berlari kencang, hingga tak
satupun unta lain mampu menyusul. Mereka sampai di desa lebih cepat. Setelah
sampai di desa mereka yang kering karena panceklik mereka mendapati domba–domba
mereka dalam keadaan gemuk dan penuh dengan susu. Keduanyapun memerah susu
domba mereka. Padahal saat itu tak ada seorang pun di desa itu yang bisa
memerah susu.
(Thia, 3 Januari 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar