Sebuah renungan
Kisah di bawah ini adalah kisah yang
didapat dari milis alumni Jerman, layak untuk dibaca beberapa menit, dan
direnungkan seumur hidup.
Pagi itu udaranya sangat dingin dan kering, saya bergegas menemui suami dan
anak bungsu saya yangsudahmenunggu di taman di halaman kampus, untuk pergi ke
restoran yang berada di sekitar kampus. Sewaktu suami saya akan masuk dalam
antrian, saya menyela dan meminta agar dia saja yang menemani si bungsu sambil
mencari tempat duduk yang masih kosong. Ketika sedang dalam antrian menunggu
untuk dilayani, mendadak setiap orang di sekitar kami bergerak menyingkir dan bahkan
orang yang semula antri di belakang saya ikut menyingkir keluar dari antrian.
Suatu perasaan panik menguasai diri saya ketika
berbalik dan melihat mengapa mereka semua pada menyingkir? Saat berbalik itulah
saya mencium suatu “bau badan kotor” yang cukup menyengat, ternyata tepat di
belakang saya berdiri dua orang lelaki tunawisma yang sangat dekil. Tanpa
sengaja mata saya menatap laki-laki yang lebih pendek yang berdiri lebih dekat
dengan saya, Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam tapi juga memancarkan
kasih sayang. Ia menatap ke arah saya, seolah ia meminta agar dapat menerima
“kehadirannya” di tempat itu. Ia menyapa "Good day”! sambil tetap
tersenyum dan sembari menghitung beberapa koin yang disiapkan untuk membayar
makanan yang akan dipesan.
Lelaki ke dua sedang memainkan tangannya dengan gerakan aneh berdiri di
belakang temannya. Setelah menyadari bahwa lelaki ke dua itu menderita
defisiensi mental dan lelaki dengan mata biru itu adalah “penolong”-nya. Saya
merasa sangat prihatin setelah mengetahui bahwa ternyata dalam antrian itu kini
hanya tinggal saya bersama mereka dan kami bertiga tiba-tiba saja sudah sampai
di depan counter.
Ketika wanita muda di counter menanyakan kepada
saya apa yang ingin saya pesan, saya persilahkan kedua lelaki ini untuk memesan
duluan. Lelaki bermata biru segera memesan “Kopi saja, satu cangkir Nona".
Ternyata dari koin yang terkumpul hanya itulah yang mampu dibeli oleh mereka
(sudah menjadi aturan di restoran disini, jika ingin duduk di dalam restoran
dan menghangatkan tubuh, maka orang harus membeli sesuatu). Dan tampaknya kedua
orang ini hanya ingin menghangatkan badan.
Tiba-tiba saja saya diserang oleh rasa iba yang membuat saya sempat terpaku
beberapa saat, mata saya mengikuti langkah mereka mencari tempat duduk yang
jauh terpisah dari tamu-tamu lainnya ,dimana hampir semuanya sedang mengamati
mereka. Saya baru tersadar setelah petugas di counter itu menyapa saya untuk
ketiga kalinya menanyakan apa yang ingin saya pesan. Saya tersenyum dan minta
diberikan dua paket makan pagi (di luar pesanan saya) dalam nampan terpisah.
Setelah membayar semua pesanan, saya minta
bantuan petugas lain yang ada di counter itu untuk mengantarkan nampan pesanan
saya ke meja/ tempat duduk suami dan anak saya. Sementara saya membawa nampan
lainnya berjalan melingkari sudut ke arah meja yang telah dipilih kedua lelaki
itu untuk beristirahat. Saya letakkan nampan berisi makanan itu di atas mejanya
dan meletakkan tangan saya di atas punggung telapak tangan dingin
lelaki bemata biru itu, sambil saya berucap ; "makanan ini telah saya
pesan untuk kalian berdua". Kembali mata biru itu menatap dalam ke arah
saya, kini mata itu mulai basah berkaca-kaca dan dia hanya mampu berkata
"Terima kasih banyak, nyonya”.
Saya mencoba tetap menguasai diri saya sambil
menepuk bahunya dan berkata: "Sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini
untuk kalian, Allah juga berada di sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu
ke telinga saya untuk menyampaikan makanan ini kepada kalian". Mendengar
ucapan saya, si Mata Biru tidak kuasa menahan haru dan memeluk lelaki ke dua
sambil terisak-isak. Saat itu ingin sekali saya merengkuh kedua lelaki itu Saya
sudah tidak dapat menahan tangis ketika berjalan meninggalkan mereka dan
bergabung dengan suami dan anak saya yang tidak jauh dari tempat duduk mereka.
Suami saya mencoba meredakan tangis saya dan
berkata "Sekarang saya tahu, mengapa Allah .mengirimkan kamu menjadi
istriku, yang pasti, untuk memberikan ‘keteduhan’ bagiku dan anak - anak”!
Kami saling berpegangan tangan beberapa saat dan saat itu kami benar-benar
bersyukur dan menyadari, bahwa kami telah mampu memanfaatkan 'kesempatan' untuk
berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang sangat membutuhkan.
Ketika kami sedang menyantap makanan, sebagian dari tamu ada yang akan
meninggalkan restoran dan disusul oleh beberapa tamu lainnya,
mereka satu persatu tamu menghampiri meja kami untuk sekedar ingin 'berjabat
tangan' dengan kami.Salah satu di antaranya, seorang bapak, memegangi tangan
saya, dan berucap ;
Pagi itu udaranya sangat dingin dan kering, saya bergegas menemui suami dan anak bungsu saya yangsudahmenunggu di taman di halaman kampus, untuk pergi ke restoran yang berada di sekitar kampus. Sewaktu suami saya akan masuk dalam antrian, saya menyela dan meminta agar dia saja yang menemani si bungsu sambil mencari tempat duduk yang masih kosong. Ketika sedang dalam antrian menunggu untuk dilayani, mendadak setiap orang di sekitar kami bergerak menyingkir dan bahkan orang yang semula antri di belakang saya ikut menyingkir keluar dari antrian.
Lelaki ke dua sedang memainkan tangannya dengan gerakan aneh berdiri di belakang temannya. Setelah menyadari bahwa lelaki ke dua itu menderita defisiensi mental dan lelaki dengan mata biru itu adalah “penolong”-nya. Saya merasa sangat prihatin setelah mengetahui bahwa ternyata dalam antrian itu kini hanya tinggal saya bersama mereka dan kami bertiga tiba-tiba saja sudah sampai di depan counter.
Tiba-tiba saja saya diserang oleh rasa iba yang membuat saya sempat terpaku beberapa saat, mata saya mengikuti langkah mereka mencari tempat duduk yang jauh terpisah dari tamu-tamu lainnya ,dimana hampir semuanya sedang mengamati mereka. Saya baru tersadar setelah petugas di counter itu menyapa saya untuk ketiga kalinya menanyakan apa yang ingin saya pesan. Saya tersenyum dan minta diberikan dua paket makan pagi (di luar pesanan saya) dalam nampan terpisah.
Ketika kami sedang menyantap makanan, sebagian dari tamu ada yang akan meninggalkan restoran dan disusul oleh beberapa tamu lainnya, mereka satu persatu tamu menghampiri meja kami untuk sekedar ingin 'berjabat tangan' dengan kami.Salah satu di antaranya, seorang bapak, memegangi tangan saya, dan berucap ;
Saya hanya bisa berucap "terimakasih" sambil tersenyum. Sebelum beranjak meninggalkan restoran saya sempatkan untuk melihat ke arah ke dua lelaki itu, dan seolah ada 'magnit' yang menghubungkan batin kami, mereka langsung menoleh ke arah kami sambil tersenyum lalu melambailambaikkan tangannya kearah kami.“Tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yang berada di sini, jika suatu saat saya diberi kesempatan olehNya, saya akan lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi kepada kami”.