Minggu, 03 April 2016

MERINDUKAN SUARA ADZAN



Suara Adzan bisa menjadi suatu hal yang lazim saja. Pertanda selesainya tugas matahari pada suatu hari dan awal bagi rembulan menjaga malam hari di muka bumi. Adzan merupakan pertanda waktu sholat, adzan pun menjadi begitu berharga bagi mereka yang berpuasa karena dia yang memisahkan lega dan dahaga, puas dan lapar, serta menjadi awal pertemuan kita dengan malam yang khusyuk

Sudah hampir seminggu saya berada di Amerika. Rasanya seperti pertama kali menginjakkan kaki di negeri Paman Sam ini, walaupun tidak asing tetap saja saya masih membutuhkan penyesuaian diri dengan lingkungan. Sangat beruntung tempat saya tidak terlalu jauh dengan Islamic Center, setidaknya saya masih mendengar suara adzan meskipun sayup–sayup. Jangan di bayangkan Islamic Center disini semegah Islamic Center yang ada di Indonesia, Mesir atau negara-negara Islam lainnya. Tempat itu tidak begitu besar berbentuk persegi berlantai dua. Dindingnya terbuat dari kayu bercat putih sungguh klasik dan sejuk. Ruang perseginya menawarkan   hangat kebersamaan persaudaraan muslim rantau. Meskipun tidak ada larangan untuk mengumandangkan Adzan tetapi di Negeri ini suara Adzan tidak senyaring suara adzan di Indonesia, hanya diizinkan untuk di dengar jamaah di Masjid tersebut.

Tak lama kemudian jam digital di muka mimbar menunjukkan waktu    Maghrib tiba. Seorang pria berwajah Timur Tengah berdiri lalu ia kumandangkan adzan dengan mikrofon. Suara adzan itu lembut terdengar walau hanya dalam ruangan berukuran kira-kira 10 x 10 m itu. Saya terduduk bersama beberapa jamaah yang lain.
Tak lama ada rasa berbeda yang perlahan menyelinap dalam hati. Rasa rindu akan tanah air dan adzan yang wara-wiri tiap waktu shalat tiba. Tak ada lagi adzan di luar ruangan ini walau saya berlari ke seluruh penjuru mata angin berkilometer jauhnya. Ada keharuan melanda kalbu dan saat itu manislah terasa menjadi muslim di negeri orang. Kalimat tauhid menjadi kita kuat membuncah dalam hati, menuju tenggorokan dan berakhir di kelenjar air mata.

Punggung saya di tepuk dari belakang oleh seorang perempuan yang tidak saya kenal, “Berbukalah ukhti, ana tau antum sedang shaum”.
Ya Allah Ya Rabb, terima kasih atas adzan yang kau beri hari ini. Syukur Alhamdulillah atas karunia nikmat yang telah Kau berikan, Kami pun makan beberapa biji kurma dan kemudian berdiri menegakkan punggung tiga kali. Kami      menikmati kemerdekaan karena kami ber-Islam.

“Alhamdulillah … Alhamdulillah … Alhamdulillah Ya Rabb … “


(Thia, 25 Desember 2014)