Beberapa hari yang lalu di
yayasan didatangi seorang Ibu paruh baya, usia kurang lebih mendekati 45
tahunan, Masih cukup muda. Dengan wajah memelas penuh pengharapan si Ibu
berniat menitipkan empat anaknya yang masih kecil–kecil di yayasan. Miris
mendengar kisahnya, terpaksa membesarkan tujuh orang anak tanpa seorang suami.
Ibu ini bekerja banting tulang, karena hanya dialah yang menjadi tulang
punggung keluarga, dengan keadaan seperti saat ini bagi dia yang sekolahpun tak
sempat menamatkan Sekolah Dasar, hasil kerja serabutannya sebagai buruh cuci,
setrika dan memulung tidak juga mampu mencukupi kebutuhan dasarnya, bahkan
mungkin tidak cukup mampu membuatnya bertahan
Dari hasilnya bekerja yang
tidak seberapa, hanya cukup membiayai sekolah ketiga anaknya, itupun sering
terlambat. Praktis untuk bisa survive
dan makan sehari–hari dia dan ketiga anaknya mengais rezeki sisa makanan dari
satu rumah ke rumah yang lain, atau dari satu tempat sampah ke tempat sampah
yang lain, meskipun tidak semua nasi enak yang dia dapatkan, bahkan nasi basi
dari tempat sampahpun dia ambil,untuk kemudian dipilahnya, nasi yang terkumpul
di bagikannya kepada 7 orang anaknya sedangkan si Ibu kalau ada sisa nasi akan
di habiskannya, bila tidak ada sisa, cukup baginya anak – anaknya yang kenyang,
sedangkan sang ibu mengenyangkan dirinya dengan minum air sebanyak – banyaknya.
Ingatan saya melayang kepada
seorang sahabat laki-laki saya. Orangnya pintar, sederhana, tidak perlu
meragukan kesuksesannya dalam berkarier. Tentu saja bukan itu yang membuat saya
kagum, yang membuat kagum adalah istiqomahnya dalam memberi. Memang bukan
sedeqah yang besar yang disedekahkannya adalah 7 Bungkus nasi Padang, dan itu
rutin dilakukannya setiap hari kamis atau bila tidak sempat di hari kamis Ia
lakukan di hari Jumat. Sahabat saya akan memberikan nasi bungkus tadi kepada
siapa saja yang ia temui, kadang pemulung, penarik becak, tukang sampah. Bila
mendengar ceritsaya anya walaupun nasi bungkus yang diberikannya tidak selalu
dimakan sipenerima, sebagian besar nasi bungkus pemberian sahabat saya ini di
bawa pulang untuk diberikan kepada keluarganya.... dia selalu mengatakan kepada
saya bergetar hati abang adhek saat melakukan ini, ingat waktu susah, sulit
sekali untuk makan.
Bukan hanya sedeqahnya yang
ingin saya kagumi tapi rasa empatinya. Sebuah empati yang luar biasa. Hanya
bisa terjadi bila kita mau bertindak dengan hati. Sangat sederhana caranya
berempati. Saya terenyuh pada sang Ibu. Saya berpikir Karena seorang ibu, tentunya
dia ingin menjadi “pahlawan dan pelidung”
bagi anak-anaknya. Walapun dengan pakaian kumal seadanya, tetapi saya bisa
tau, saat tidak bisa memberi makan anak - anaknya, saat malu tidak bisa
menyekolahkan anak-anaknya, saat tidak mampu melindungi dan memberikan
kelayakan pada sang anak, baju ibu itu seolah terkoyak. Saya bisa merasakannya.
(Thia, Maret 2015)