Sabtu, 02 April 2016

TUJUH BUNGKUS NASI PADANG





Beberapa hari yang lalu di yayasan didatangi seorang Ibu paruh baya, usia kurang lebih mendekati 45 tahunan, Masih cukup muda. Dengan wajah memelas penuh pengharapan si Ibu berniat menitipkan empat anaknya yang masih kecil–kecil di yayasan. Miris mendengar kisahnya, terpaksa membesarkan tujuh orang anak tanpa seorang suami. Ibu ini bekerja banting tulang, karena hanya dialah yang menjadi tulang punggung keluarga, dengan keadaan seperti saat ini bagi dia yang sekolahpun tak sempat menamatkan Sekolah Dasar, hasil kerja serabutannya sebagai buruh cuci, setrika dan memulung tidak juga mampu mencukupi kebutuhan dasarnya, bahkan mungkin tidak cukup mampu membuatnya bertahan

Dari hasilnya bekerja yang tidak seberapa, hanya cukup membiayai sekolah ketiga anaknya, itupun sering terlambat. Praktis untuk bisa survive dan makan sehari–hari dia dan ketiga anaknya mengais rezeki sisa makanan dari satu rumah ke rumah yang lain, atau dari satu tempat sampah ke tempat sampah yang lain, meskipun tidak semua nasi enak yang dia dapatkan, bahkan nasi basi dari tempat sampahpun dia ambil,untuk kemudian dipilahnya, nasi yang terkumpul di bagikannya kepada 7 orang anaknya sedangkan si Ibu kalau ada sisa nasi akan di habiskannya, bila tidak ada sisa, cukup baginya anak – anaknya yang kenyang, sedangkan sang ibu mengenyangkan dirinya dengan minum air sebanyak – banyaknya.

Ingatan saya melayang kepada seorang sahabat laki-laki saya. Orangnya pintar, sederhana, tidak perlu meragukan kesuksesannya dalam berkarier. Tentu saja bukan itu yang membuat saya kagum, yang membuat kagum adalah istiqomahnya dalam memberi. Memang bukan sedeqah yang besar yang disedekahkannya adalah 7 Bungkus nasi Padang, dan itu rutin dilakukannya setiap hari kamis atau bila tidak sempat di hari kamis Ia lakukan di hari Jumat. Sahabat saya akan memberikan nasi bungkus tadi kepada siapa saja yang ia temui, kadang pemulung, penarik becak, tukang sampah. Bila mendengar ceritsaya anya walaupun nasi bungkus yang diberikannya tidak selalu dimakan sipenerima, sebagian besar nasi bungkus pemberian sahabat saya ini di bawa pulang untuk diberikan kepada keluarganya.... dia selalu mengatakan kepada saya bergetar hati abang adhek saat melakukan ini, ingat waktu susah, sulit sekali untuk makan.

Bukan hanya sedeqahnya yang ingin saya kagumi tapi rasa empatinya. Sebuah empati yang luar biasa. Hanya bisa terjadi bila kita mau bertindak dengan hati. Sangat sederhana caranya berempati. Saya terenyuh pada sang Ibu. Saya berpikir Karena seorang ibu, tentunya dia ingin menjadi “pahlawan dan pelidung” bagi anak-anaknya. Walapun dengan pakaian kumal seadanya, tetapi saya bisa tau, saat tidak bisa memberi makan anak - anaknya, saat malu tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya, saat tidak mampu melindungi dan memberikan kelayakan pada sang anak, baju ibu itu seolah terkoyak. Saya bisa merasakannya.

 (Thia, Maret 2015)