Senin, 04 April 2016

PENGUSAHA LANGIT


“Memang benar, ada kalanya kita tidak melihat apa yang melekat pada tubuh seseorang sebagai penilaian. Karena kita tidak akan pernah tahu pada beberapa waktu yang akan datang, seseorang yang Anda remehkan bisa jadi merupakan pengantar rejeki yang tak terduga”.

Siang ini saya kedatangan tamu istmewa, seorang sahabat lama yang pernah bersama mengenyam pendidikan di negeri orang. Bagi saya ini adalah rahmat Allah, hampir 7 tahun saya tidak bertemu dengannya. Saya tahu betul bagaimana kegigihannya dalam belajar dari seseorang yang dulu diremehkan dilingkungannya kini berubah menjadi seorang pengusaha. Atau saya lebih senang menyebutnya entrepeneur  yang justru mengayomi orang – orang yang pernah meremehkannya.

Dalam perjalanan ke rumah, kami mengingat kembali awal perjumpaan dan pertemanan, kalau boleh meminjam istilah sahabat saya bisa diibaratkan kami berdua adalah tukang becak berjas putih. Kami sama–sama bermimpi menjadi seorang pengusaha. Terlihat bagai puguk merindukan bulan, tapi kenyataannya kami memang tidak pernah berhenti bermimpi dan benar– benar kami tancapkan mimipi itu setinggi-tingginya.

Senang melihatnya berhasil, cerita – cerita bagaimana dia memulai usahanya dan kisahnya jatuh bangun dalam membangun usahanya mengalir selama perjalanan kami. Disodorkannya sebuah kartu nama, kartu nama berwarna putih dengan tinta keemasan yg mencantumkan nama sahabat saya ini dengan deretan gelar yang panjang dan di bawahnya tertera tulisan PRESIDENT DIRECTOR. Alhamdulillah senang sekali hati saya melihatnya, kebahagian benar–benar terpancar, saya bisa menangkap ekspresi wajahnya dan ingin berkata, “Kawan Kita Berhasil menjadi Pengusaha”.

Ya….,pengusaha, bisa dibayangkan oleh kebanyakan orang menjadi pengusaha tentulah selalu dikelilingi oleh berbagai kekayaan dan kesenangan. Mudah untuk meraup uang, kepuasan materil tercukupi, dikelilingi kemewahan dan kenyamanan. Menjadi pengusaha yang kaya menjadi impian banyak orang. Kekayaan selalu menjadi tujuan utamanya. Ya, sekali lagi kaya telah menjadi sesembahan baru di zaman ini.

Sungguh mengagetkan sahabat saya tidak pernah berubah masih sama seperti yang dulu. Dia memiliki pendapat yang berbeda dalam menanggapi definisi “bagaimana mencapai level kaya". Dia mengatakan bahwa alasan kenapa banyak orang tidak bisa kaya adalah karena mereka tidak cukup atau kurang memberi kepada sesamanya. Atau dengan kalimat yang lebih sederhana adalah seseorang yang mempunyai manfaat atau nilai tambah bagi orang banyak, maka orang tersebut akan menjadi kaya raya. Saya berpikir itu adalah prinsip yang sungguh Islami.

Cukup kaget juga ketika dia menanyakan bagaimana usaha saya dan bagaimana saya membangun bisnis , saya hanya menjelaskan "Yang terpenting dalam target saya adalah berbisnis seperti ini bukan karena ingin memupuk kekayaan, sungguh sekali-kali tidak! Saya lebih senang menyebut keinganan saya berbisinis ini seperti saya menjamu beberapa kepala keluarga di dalam rumah saya. Berharap di rumah saya, tidak ada teriakan kata lapar lagi dari para kepala keluarga ini maupun anak-anak mereka. Saya ingin menjadikan kantor atau rumah kedua saya ini sebagai tempat perlindungan sekumpulan pegawai yang jumlahnya kecil itu, saya sayang mereka dan semakin sayang kepada mereka dan juga kepada anak-anak mereka.

Tidak pernah terpikir oleh saya berapa besar biaya yang akan dikeluarkan untuk merealisasikan hal ini. Saya membina perusahaan tersebut dengan landasan cinta dan kasih sayang laiknya seorang Ibu dan berusaha keras sekuat tenaga untuk menahkodai kapal bisnis ini untuk sampai di pantai kebahagiaan kelak secara bersama-sama. Dan selalu saya libatkan kehadiran Allah dalam setiap langkah kami. Saya ingin suasana perjuangan selalu hadir, agar hati kami selalu hidup dan pegawai merasa bahagia.

Tak terasa mata saya berkaca kaca dan keharuanku mengalir bersama   dengan uraian cerita sahabat saya. Dia menceritakan kembali ayah Bob Galvin, pendiri Motorola. Sewaktu dia mengamati deretan pekerja wanita dan dia termenung, “Mereka semua mirip dengan ibuku, mereka semua punya anak yang harus dicukupkan, rumah yang harus dirawat dan orangorang yang masih memerlukan mereka yang berada dibawah tanggungan mereka”. Hal itulah, yang membuat ayah Galvin selalu termotivasi untuk bekerja lebih keras lagi agar tercipta kehidupan yang lebih baik bagi mereka karena ayahnya melihat sosok ibunya dalam diri semua pekerja itu. “Begitulah bisnis kami semuanya dimulai dengan rasa hormat yang mendalam”, katanya.

Bila sahabat saya menceritakan sosok ayah Bob Galvin, saya menceritakan salah satu sosok kaum beriman. Pertama Umar bin Abdul Azis, karena rasa belas kasih dan rasa cintanya, dia selalu memberikan upah kepada pegawainya lebih besar dari apa yang ia terima. Kedua, Abdurrahman bin Auf, salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW juga telah mempraktekkan tentang bagaimana menggunakan kekayaanya. Dia seorang pengusaha yang sukses. Tetapi dia memandang kekayaannya hanyalah sebagai fasilitas untuk beramal saleh. Dia mencontohkan dalam kisahnya yang telah mensedekahkan separuh harta miliknya sebanyak 40.000 dinar pada Rasulullah SAW, kemudian dia mensedekahkan lagi hartanya sebanyak 40.000 dinar, dan kembali bersedekah sebanyak 40.000 dinar. Semuanya itu berlangsung dalam jangka waktu yang berdekatan. Lalu dia menanggung 500 kuda untuk kepentingan fisabillillah, dan setelah itu kembali menanggung 1.500 unta untuk kepentingan fisabilillah. Sebagian besar harta milik Abdurrahman tersebut adalah yang dia peroleh murni dari hasil berbisnis.

Mereka melakukan semua itu, tidak lain karena mereka tidak menjadikan kekayaan sebagai hasil akhir yang ingin dicapai, melainkan mereka menggunakan kekayaan yang dimilikinya untuk meraih janji Tuhannya dengan mendapatkan ganjaran yang luar biasa yaitu surga-Nya.

Obrolan kami terhenti ketika pak Usman ikut mengambil bagian dalam obrolan kami, Ngapunten Lho den Ayu seperti yang ada dalam Al Qur’an :
Sesungguhnya Allah membeli dari orang orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka, maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan demikian itulah kemenangan yang agung (At Taubah:111).
Seandainya pak Usman memiliki seribu nyawa, dengan senang hati pak Usman akan mengorbankan semuanya demi kejayaan Islam. Bagaimana tidak? Karena sesungguhnya kita kini sedang menunggu di alam Barzakh (alam antara kematian dan kebangkitan), kereta yang akan membawa kita ke akhirat. Saya sudah ikhlas dan siap melakukan perjalanan ke dunia lain untuk bergabung bersama.

Kami berdua tersenyum mendengar ucapan pak Usman, membayangkan keadaan pikiran seorang abdi dalem dari sebuah desa yang seumur hidupnya belum pernah menjadi pengusaha, belum pernah melihat sebuah kota besar dengan berbagai kesenangan, kemewahan dan kemegahan. Namun sangat ikhlas menafkahkan apa yang dimiliki, dan tidak sabar untuk mencapai hari akhir itu.

Saya mengatakan kepada sahabat saya, inilah yg disebut pengusaha langit atau entrepenuer langit. Sahabat saya pun menjawabnya, sudah siapkah kita menjadi enterpreuner langit seperti itu ? Obrolan itu berakhir dengan tawa ringan kami. Tetapi saya yakin betul di hati kami bertiga sesungguhnya kami ingin menjadi Pengusaha langit
 
(Thia, 20 Februari 2015)