“Memang benar, ada kalanya kita
tidak melihat apa yang melekat pada tubuh seseorang sebagai penilaian. Karena
kita tidak akan pernah tahu pada beberapa waktu yang akan datang, seseorang
yang Anda remehkan bisa jadi merupakan pengantar rejeki yang tak terduga”.
Siang ini saya kedatangan tamu
istmewa, seorang sahabat lama yang pernah bersama mengenyam pendidikan di negeri
orang. Bagi saya ini adalah rahmat Allah, hampir 7 tahun saya tidak bertemu
dengannya. Saya tahu betul bagaimana kegigihannya dalam belajar dari seseorang
yang dulu diremehkan dilingkungannya kini berubah menjadi seorang pengusaha.
Atau saya lebih senang menyebutnya entrepeneur
yang justru mengayomi orang – orang yang pernah meremehkannya.
Dalam perjalanan ke rumah, kami
mengingat kembali awal perjumpaan dan pertemanan, kalau boleh meminjam istilah
sahabat saya bisa diibaratkan kami berdua adalah tukang becak berjas putih.
Kami sama–sama bermimpi menjadi seorang pengusaha. Terlihat bagai puguk
merindukan bulan, tapi kenyataannya kami memang tidak pernah berhenti bermimpi
dan benar– benar kami tancapkan mimipi itu setinggi-tingginya.
Senang melihatnya berhasil, cerita – cerita
bagaimana dia memulai usahanya dan kisahnya jatuh bangun dalam membangun
usahanya mengalir selama perjalanan kami. Disodorkannya sebuah kartu nama,
kartu nama berwarna putih dengan tinta keemasan yg mencantumkan nama sahabat
saya ini dengan deretan gelar yang panjang dan di bawahnya tertera tulisan PRESIDENT DIRECTOR. Alhamdulillah
senang sekali hati saya melihatnya, kebahagian benar–benar terpancar, saya bisa
menangkap ekspresi wajahnya dan ingin berkata, “Kawan Kita Berhasil menjadi
Pengusaha”.
Ya….,pengusaha, bisa
dibayangkan oleh kebanyakan orang menjadi pengusaha tentulah selalu dikelilingi
oleh berbagai kekayaan dan kesenangan. Mudah untuk meraup uang, kepuasan
materil tercukupi, dikelilingi kemewahan dan kenyamanan. Menjadi pengusaha yang
kaya menjadi impian banyak orang. Kekayaan selalu menjadi tujuan utamanya. Ya,
sekali lagi kaya telah menjadi sesembahan baru di zaman ini.
Sungguh mengagetkan sahabat
saya tidak pernah berubah masih sama seperti yang dulu. Dia memiliki pendapat
yang berbeda dalam menanggapi definisi “bagaimana
mencapai level kaya". Dia mengatakan bahwa alasan kenapa banyak orang
tidak bisa kaya adalah karena mereka tidak cukup atau kurang memberi kepada
sesamanya. Atau dengan kalimat yang lebih sederhana adalah seseorang yang
mempunyai manfaat atau nilai tambah bagi orang banyak, maka orang tersebut akan
menjadi kaya raya. Saya berpikir itu adalah prinsip yang sungguh Islami.
Cukup kaget juga ketika dia
menanyakan bagaimana usaha saya dan bagaimana saya membangun bisnis , saya
hanya menjelaskan "Yang terpenting dalam target saya adalah berbisnis
seperti ini bukan karena ingin memupuk kekayaan, sungguh sekali-kali tidak!
Saya lebih senang menyebut keinganan saya berbisinis ini seperti saya menjamu
beberapa kepala keluarga di dalam rumah saya. Berharap di rumah saya, tidak ada
teriakan kata lapar lagi dari para kepala keluarga ini maupun anak-anak mereka.
Saya ingin menjadikan kantor atau rumah kedua saya ini sebagai tempat
perlindungan sekumpulan pegawai yang jumlahnya kecil itu, saya sayang mereka
dan semakin sayang kepada mereka dan juga kepada anak-anak mereka.
Tidak pernah terpikir oleh
saya berapa besar biaya yang akan dikeluarkan untuk merealisasikan hal ini.
Saya membina perusahaan tersebut dengan landasan cinta dan kasih sayang laiknya
seorang Ibu dan berusaha keras sekuat tenaga untuk menahkodai kapal bisnis ini
untuk sampai di pantai kebahagiaan kelak secara bersama-sama. Dan selalu saya
libatkan kehadiran Allah dalam setiap langkah kami. Saya ingin suasana
perjuangan selalu hadir, agar hati kami selalu hidup dan pegawai merasa
bahagia.
Tak terasa mata saya berkaca
kaca dan keharuanku mengalir bersama
dengan uraian cerita sahabat saya. Dia menceritakan kembali ayah Bob
Galvin, pendiri Motorola. Sewaktu dia mengamati deretan pekerja wanita dan dia
termenung, “Mereka semua mirip dengan ibuku, mereka semua punya anak yang harus
dicukupkan, rumah yang harus dirawat dan orangorang yang masih memerlukan
mereka yang berada dibawah tanggungan mereka”. Hal itulah, yang membuat ayah
Galvin selalu termotivasi untuk bekerja lebih keras lagi agar tercipta kehidupan
yang lebih baik bagi mereka karena ayahnya melihat sosok ibunya dalam diri
semua pekerja itu. “Begitulah bisnis kami semuanya dimulai dengan rasa hormat
yang mendalam”, katanya.
Bila sahabat saya menceritakan
sosok ayah Bob Galvin, saya menceritakan salah satu sosok kaum beriman. Pertama
Umar bin Abdul Azis, karena rasa belas kasih dan rasa cintanya, dia selalu
memberikan upah kepada pegawainya lebih besar dari apa yang ia terima. Kedua,
Abdurrahman bin Auf, salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW juga telah
mempraktekkan tentang bagaimana menggunakan kekayaanya. Dia seorang pengusaha
yang sukses. Tetapi dia memandang kekayaannya hanyalah sebagai fasilitas untuk
beramal saleh. Dia mencontohkan dalam kisahnya yang telah mensedekahkan separuh
harta miliknya sebanyak 40.000 dinar pada Rasulullah SAW, kemudian dia
mensedekahkan lagi hartanya sebanyak 40.000 dinar, dan kembali bersedekah
sebanyak 40.000 dinar. Semuanya itu berlangsung dalam jangka waktu yang
berdekatan. Lalu dia menanggung 500 kuda untuk kepentingan fisabillillah, dan
setelah itu kembali menanggung 1.500 unta untuk kepentingan fisabilillah.
Sebagian besar harta milik Abdurrahman tersebut adalah yang dia peroleh murni
dari hasil berbisnis.
Mereka melakukan semua itu,
tidak lain karena mereka tidak menjadikan kekayaan sebagai hasil akhir yang
ingin dicapai, melainkan mereka menggunakan kekayaan yang dimilikinya untuk
meraih janji Tuhannya dengan mendapatkan ganjaran yang luar biasa yaitu
surga-Nya.
Obrolan kami terhenti ketika
pak Usman ikut mengambil bagian dalam obrolan kami, Ngapunten Lho den Ayu
seperti yang ada dalam Al Qur’an :
Sesungguhnya Allah membeli dari orang orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka, maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan demikian itulah kemenangan yang agung (At Taubah:111).
Seandainya pak Usman memiliki
seribu nyawa, dengan senang hati pak Usman akan mengorbankan semuanya demi
kejayaan Islam. Bagaimana tidak? Karena sesungguhnya kita kini sedang menunggu
di alam Barzakh (alam antara kematian dan kebangkitan), kereta yang akan
membawa kita ke akhirat. Saya sudah ikhlas dan siap melakukan perjalanan ke
dunia lain untuk bergabung bersama.
Kami berdua tersenyum
mendengar ucapan pak Usman, membayangkan keadaan pikiran seorang abdi dalem
dari sebuah desa yang seumur hidupnya belum pernah menjadi pengusaha, belum
pernah melihat sebuah kota besar dengan berbagai kesenangan, kemewahan dan
kemegahan. Namun sangat ikhlas menafkahkan apa yang dimiliki, dan tidak sabar
untuk mencapai hari akhir itu.
Saya mengatakan kepada sahabat
saya, inilah yg disebut pengusaha langit atau entrepenuer langit. Sahabat saya
pun menjawabnya, sudah siapkah kita menjadi enterpreuner langit seperti itu ?
Obrolan itu berakhir dengan tawa ringan kami. Tetapi saya yakin betul di hati
kami bertiga sesungguhnya kami ingin menjadi Pengusaha langit